Nasib Perkantoran Mewah Pemprov Lampung di Kota Baru
SumatraLink.id (REPUBLIKA NETWORK) -- Perkantoran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung di Kota Baru, Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, 14 tahun terbengkalai. Dua Gubernur Lampung M Ridho Ficardo dan Arinal Djunaidi setelah kantor dibangun Gubernur Sjachroedin ZP pada 27 Juni 2010, pusat perkantoran seluas 1.600-an hektare (ha) ini hanya ditempati petani penggarap singkong dan jagung.
Niat Sjachroedin ZP, mantan Kadivops Kapolri, saat menjabat gubernur dua periode 2004-2008 dan 2009-2014 berhasrat akan memindahkan Kantor Pemprov Lampung di Telukbetung, Bandar Lampung berikut perkantoran Forkopimda Lampung ke Kota Baru, Lampung Selatan. Alasan utama, padatnya perkantoran di kawasan Telukbetung, pengembangan wilayah penyangga ibukota provinsi dan juga mengatasi padatnya arus lalu lintas dalam kota.
Kota Baru bagian proyek strategis Gubernur Sjachroedin ZP saat menjabat gubernur periode kedua. Lahan hasil tukar guling (alih fungsi lahan) dengan PTPN VII seluas 1.669 ha tersebut dari kebun karet dan sawit akan disulap jadi kompleks Pemprov Lampung, kantor Forkopimda, sarana pendidikan dan kesehatan, termasuk juga sosial.
Era Sjahroedin menjabat gubernur, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung dan Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pembangunan Kota Baru telah terbit. Megaproyek strategisnya dilaksanakan, miliaran rupiah APBD/P Provinsi Lampung mengalir di Kota Baru.
Di ujung masa jabatan Sjahroedin ZP, telah terbangun Kantor Gubernur Lampung secara permanen. Kantor ini mirip istana maimun di Sumatra Utara. Kantor mewah ini bercat putih berada di tengah padang ilalang. Kondisi kantor mewah tempat gubernur bekerja ini sudah sebagian rusak.
Gedung kantor ini selama tak berpenghuni belasan tahun, sering dikunjungi orang dari berbagai tempat. Akhirnya, kondisi kantor mewah ini menjadi sasaran empuk orang tidak bertanggung jawab merusak dan memaling fasilitas gedung. Ironisnya, pada masa lalu gedung seluas itu menjadi ajang kondusif bagi anak muda untuk berbuat asusila.
Bangunan lain juga berdiri namun mangkrak hanya tulang-tulang beton tak “benyawa”. Diantaranya Gedung DPRD, rumah adat, masjid, dan fasilitas lainnya. Kondisi jalan beraspal yang menghubungkan antarkantor sudah tersedia dua jalur, namun saat ini sudah tidak berdaya lagi dengan kondisi alam dan musim.