Home > Ulasan

Santri, Jangan Lagi Terasing di Keramaian

Selama ini, pengasuh dan pengelola pondok pesantren sudah capek dengan stigma jadi bengkel anak nakal, sehingga tidak maju-maju.
Para santri sedang menghafal Al-Quran. (Foto: Republika.co.id/Imam Firmansyah)
Para santri sedang menghafal Al-Quran. (Foto: Republika.co.id/Imam Firmansyah)

SumatraLink.id – Oleh Mursalin Yasland (Jurnalis)

Ketika anak menjadi nakal, bandel, atau hobi miras dan narkoba atau ngeganja, orang tuanya mengancam cepat-cepat mau pindahkan anaknya dari sekolah umum ke pesantren. Pesantren identik bengkel. Ada motor atau mobil rusak masukkan ke bengkel dan biarlah teknisi yang memperbaiki, begitu mungkin kesannya.

Stigma negatif bengkel itu, terjadi diperkirakan sejak setengah abad lalu. Sebagian masyarakat menganggap anak-anak sekolah di pesantren sekumpulan anak 'bermasalah' atau di luar keumuman. Mereka mengira pesantren itu isinya santri yang perlu dibina dan seakan tidak memiliki masa depan yang cerah.

“Ya Allah... apa tak salah dan tak sayang, (anakmu) pinter-pinter dimasukin pesantren,” kata Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani, mengulangi celaan tetangganya kepada orang tuanya saat menyekolahkan dirinya di Pesantren Darusy Syahadah, Jawa Tengah, seperti dikutip dari kajiannya di youtube.

Stigma itu terbantahkan 100 persen. Setelah menjadi santri pondok itu, Ustadz Abu Fatiah Al-Adnani banyak memproduksi buku-buku agama Islam terutama yang perspektif akhir zaman berseri yang best seller (bisa di cek di google). Beliau juga banyak mengisi kajian di berbagai daerah nusantara, memiliki pesantren dan perusahaan.

Memang, pengalaman dua anak saya nyantri di pondok selama lima tahunan, para santri seperti terasing dalam keramaian, dan terpenjara di luar jeruji. Mereka dilarang membawa HP, tablet, laptop, dan perangkat elektronik semacamnya apalagi menyimpannya diam-diam.

Di luar pondok, ketika orang-orang merayakan malam tahun baru, justru para santri bertafakkur di masjid. Terkadang masa seusianya lagi “sibuk-sibuk” bermedsos ria, sedangkan para santriwan dan satriwati justru “sibuk” menghafal Alquran dan Al-Hadist.

Rutinitas santri dari bangun tidur sampai tidur lagi sudah terjadwal. Kegiatan MCK, makan, dan belajar sudah ditentukan waktunya. Keluar dari agenda yang sudah ditentukan bahkan di tempel di dinding mendapat sanksi tegas.

Memasuki Bulan Ramadhan, saat anak sekolah umum lebih santai, para santri justru frekwensi ibadan dan belajarnya makin intens. Tapi, tak mengecualikan masih tetap ada hari libur dalam sepekan dan dalam setahun.

Stigma bengkel perlahan terkikis, tapi hijrah jadi salon. Kalau ada motor atau mobil bagus (bukan rusak) bisa dipercantik. Begitu juga, anak berkemampuan masuk pesantren. Bukan berarti menolak anak tidak mampu. Selama ini, pengasuh dan pengelola pesantren sudah capek dengan stigma bengkel, sehingga tidak maju-maju.

Lebih tidak mengenakan lagi stigma negatif ketika mencuat kabar di medsos, ada seorang yang disebut “ustadz” justru berbuat asusila atau pelecehan terhadap para santrinya. Menyusul ada berita kematian anak santri oleh para seniornya, dan perilaku negatif lainnya. Kondisi ini memperparah stigma negatif anak yang bersekolah di pondok pesantren.

Ada kecenderungan belakangan, banyak para orang tua terutama para emak-emak, yang tadinya berniat menyekolahkan anaknya di pondok pesantren justru ada yang membatalkan, ada yang masih pikir-pikir, dan ada yang sama sekali tidak terlintas di benaknya untuk sekolah di pesantren.

Ironis memang, tapi nyata kondisi zaman ini. Untuk itu masih banyak “PR” (pekerjaan rumah) bagi pengurus pondol pesantren, para wali santri, pemerintah, dan masyarakat agar paradigma dan stigma negatif terhadap sekolah agama khususnya pondok pesantren tidak dinilai lagi sebelah mata atau terbelakang dalam pergaulan, dan lainnya.

Kasus yang mencuat di medsos dan media pers, hanya sebagian kecil dari sejumlah pondok pesantren yang memang benar-benar menanamkan ajaran Islam dan meneladani perilaku Rasulullah Sholallahu’alaihi wassalam dalam kesehatiannya. Masyarakat harus melek informasi dan memperluas jangkauan literasinya terkait keberadaan pondok pesantren yang sudah berkiprah di masyarakat dan memilki nama baik yang berkesan.

Masih banyak pondok pesantren Islam tersebar di Indonesia, yang mendidik dan mengajarkan prinsip Islam secara kaffah dalam lingkungan pesantren. Bekal dasar agama inilah yang mampu para santri tularkan ketika berhadapan dengan dunia luar. Dari alumni pondok pesantren ini sudah banyak melahirkan insan-insan yang berkualitas tidak saja dalam memegang teguh ajaran Islam, tapi juga bermanfaat bagi kemaslahatan umat baik di dalam maupun luar negeri. Wallahua’lam bishawab.

× Image