Cerita dari Lampu Merah, Kado Hari Pers Nasional
SumatraLink.id -- “Surat kabar sore dijual malam....” Sebait lirik lagu Iwan Fals berjudul "Sore Tugu Pancoran” yang mengisahkan seorang bocah kecil bernama si Budi penjual koran sore di perempatan Lampu Merah, sepertinya sudah tidak relevan lagi di era digitalisasi.
Padahal, si Budi berusaha menjual berita koran sore yang menyajikan berita hari ini agar dapat dibaca publik hari ini juga walaupun telat pada malam hari sebelum besok. Nah, bagaimana nasib koran harian pagi, yang dibaca publik hasil berita kemarin?
Kondisi ini diperparah dengan gempuran media sosial (medsos) tanpa ada batasan apalagi sensor (editing). Dalam sekejab, publik berbagai kalangan sangat mudah mengakses berita (baca: info) medsos via handphone baik facebook, instagram, tiktok, maupun youtube yang semakin masif dan up to date.
Senja kala media pers menjadi korban disrupsi media. Hegemoni media pers baik koran, tabloid, majalah, termasuk televisi dan radio, lambat laun luntur dan berguguran bak dilibas gelombang tsunami. Padahal, dulu dengan kehadiran televisi swasta nasional (tidak lagi dimonopoli TVRI), diprediksi berpengaruh dengan media cetak, namun pada praktiknya tidak berlangsung lama, media cetak tetap berproduksi dan eksis seperti biasanya, karena ceruk kue iklannya berbeda.
Kehadiran dunia medsos di zaman Generasi Z (genzi) justru yang menghantam habis-habisan berbagai jenis media pers baik cetak, elektronik, termasuk media daring (online). Banyak media cetak berguguran setelah tumbuh dan berkembang, bahkan media mainstream pun yang telah mapan harus kalah ditelan zaman.
Medsos telah mengubah zaman, medsos telah menjungkirbalikkan keadaan. Berita detik ini, tak lagi harus menunggu tayang berita televisi apalagi koran harian besok paginya. Surat kabar pagi serasa basi dan hampa, surat kabar sore pun tak dilirik lagi. Sedangkan media mainstream daring (online) pun harus terpaksa ‘mengekor’ berita medsos, dan menongkrongi infor-info yang lagi viral.
Mau tidak mau, media pers kala ini harus berkiblat dengan medsos. Apalagi jargon viral menjadi rujukan para pekerja media, untuk turut ambil bagian dari berita viral tersebut. Tidak jarang, media pers daring yang sudah ‘berkelas’ harus ‘takluk’ juga dengan medsos ketika info tersebut viral lebih dulu dari medianya.