Home > Historia

Sepotong Malam Menjelang Subuh Gerakan 30 September

Hanya sebagian kecil warga Jakarta yang mendengarkan siaran berita RRI yang mengetahui kejadian memilukan malam penculikan tujuh perwira AD.
Tujuh perwira AD yang diculik dan dibunuh dalam Gerakan 30 September 1965. (Foto; Dok. Republika.co.id)
Tujuh perwira AD yang diculik dan dibunuh dalam Gerakan 30 September 1965. (Foto; Dok. Republika.co.id)

SumatraLink.id, -- Malam Jumat itu sunyi, senyap, dan gelap. Ibukota Jakarta seakan tertidur lelap. Ternyata ada sekumpulan oknum militer dan rakyat sipil justru matanya terbelalak, yang super sibuk di malam singkat itu. Gerakan 30 September, namanya.

Peristiwa memilukan 59 tahun lalu, telah menorehkan lembaran hitam negeri tercinta ini. Tujuh pahlawan revolusi gugur dalam pembantaian oleh Gerakan 30 September yang didalangi PKI pada Jumat, 1 Oktober 1965 mulai pukul 3.30 WIB. Mereka memasuki paksa rumah tujuh petinggi AD tersebut dengan alasan dipanggil Pemimpin Besar Revolusi/Presiden Soekarno.

Target Gerakan 30 September yang mengusung jargon “Dewan Djendral”, telah menculik enam perwira tinggi dan satu perwira pertama Angkatan Darat (AD). (1) Letjen Achmad Yani, (2) Brigjen DI Pandjaitan, (3) Mayjen Suprapto, (4) Mayjen Harjono MT, (5) Brigjen Sutojo, (6) Mayjen S Parman, dan (7) Lettu Tendean.

Hanya Menko Hankam Kasab Jenderal AH Nasution yang selamat dari penculikan, setelah gerombolan pasukan Tjakrabirawa itu mengambil Lettu Tendean, ajudan Jenderal AH Nasution yang mengaku AH Nasution. AH Nasution berhasil kabur dari penculikan, namun putri kedua Ade Irma Suryani yang berusia 5 tahun ditembak dari jarak dekat dan meninggal dunia setelah dirawat di rumah sakit.

Petinggi AD yang dituduh akan melakukan coup Presiden Soekarno tersebut dibawa Pasukan Gerakan 30 September secara hidup dan mati ke kawasan Lubang Buaya, di Cipayung, Jakarta Timur. Kawasan ini menjadi sentra relawan/relawati, gerwani, pemuda rakyat, dan juga oknum ABRI.

Gerakan ini telah menguasai radio siaran RRI, dan sebagian media pers koran. Mereka telah menyiarkan berita melalui corong RRI dan Pusat Telekomunikasi yang isinya, gerakan pembersihan apa yang dinamakan “Dewan Djendral”, dan mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi Indonesia”.

Baca juga: Isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist Menuju 1 Oktober

Mereka juga mengumumkan dalam Gerakan 30 September, untuk menurunkan pangkat jenderal-jenderal, dan kolonel menjadi letnan kolonel. Sedangkan pangkat tamtama yang aktif gerakan akan diberikan kenaikan pangkat dua tingkat di atas.

Peristiwa tragis yang memilukan pada sepotong malam Jumat menjelang Subuh itu tidak banyak rakyat yang tahu. Menurut Buku berjudul Fakta2 Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September” Penerbit Pusat Penerangan Angkatan Darat (1965), suasana malam hingga pagi hari 1 Oktober 1965, hanya kelihatan pengawalan diperkuat, dan mereka menduduki kantor pusat telekomunikasi dan studio RRI, serta seluruh Jalan Merdeka Utara da Jalan Veteran dikuasai pasukan dalam jumlah besar.

“Ketjuali mereka jang mendengarkan siara radio pagi-pagi tiada jang tahu bahwa telah terdjadi coup di ibukota, telah dilakukan pentjulikan-pentjulikan terhadap beberapa Perwira telah dinodai dengan lembaran hitam. Untuk kesekian kali ada golongan jang mengadakan tindakan kontra revolusi memaksakan kehendak politik mereka terhada negara RI,” tulis buku yang dicetak PN Balai Pustaka dengan pengantar Kepala Puspen AD Brigjen TNI Ibnu Subroto.

× Image