Mengenang Tsunami Selat Sunda, Warga Terkurung di Gunung Tiga Malam

SumatraLink.id (REPUBLIKA NETWORK) – Enam tahun berlalu, namun bencana tsunami di Selat Sunda yang melanda wilayah Lampung dan Banten masih menyimpan cerita duka. Warga Pulau Sebesi yang mendapat ‘pukulan pertama’ tsunami dari Gunung Anak Krakatau (GAK) tetap mengenang peristiwa kelam tersebut sampai kini.
Beragam cerita dari sebagian warga Pulau Sebesi, pulau terdekat dengan GAK, ketika gelombang besar menghantam pulau yang berada di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Tak ada tanda-tanda sebelumnya, seperti layaknya GAK sering “batuk-batuk” dan mengeluarkan lava merah serta abu vulkanis dari puncaknya.
Malam itu, Sabtu (22/12/2028) selepas Maghrib warga masih tenang-tenang saja. Dua jam setengah dari itu sekira bakda Isya, air laut naik ke jalan pemukiman penduduk. Warga menganggap masih biasa, karena pasang-surut air laut. Lama kelamaan air laut terus meninggi dan memasuki rumah. Warga mulai gusar dan resah kejadian alam ini.
Seorang bapak berusia lanjut, dikenal tokoh adat Desa Regahan Lada, Pulau Sebesi tak tinggal diam seribu kata dengan fenomena alam ini. Ia bergegas ke luar rumah menuju bibir pantai. Di dermaga kapal motor, ia berdiri menatap laut yang gelap gulita menghadap GAK. Dalam benaknya, ada hal aneh di laut Selat Sunda. Bapak tua ini dikenal memiliki silsilah penghuni awal Pulau Sebesi.
“(Tak lama berdiri) Saya balik ke rumah dan menyuruh warga keluar rumah segera berlindung menyelamatkan diri,” kata bapak tua (lupa namanya) ini menceritakan kepada saya saat berkunjung ke Pulau Sebesi setahun selepas bencana.
Malam Ahad yang tenang berakhir dengan warga kalang kabut setelah mendapat kabar mengejutkan ada gelombang laut besar (waktu itu belum tahu ada tsunami). Penduduk Pulau Sebesi sekira seribuan lebih yang kala itu masih mengandalkan listrik generator PLTD khusus menyala dari Maghrib sampai pukul 22.00 atau 24.00, harus padam lebih cepat dari biasanya.
Suasana kampung Pulau Sebesi yang dikelilingi laut Selat Sunda gelap gulita. Memang malam itu belum bulan purnama. Tak ada penerangan sama sekali. Warga menyelamatkan anak dan istri termasuk orang tua lansia menuju dataran tinggi. Rumah warga sudah dimasuki air laut bercampur lumpur.
Ningsih, seorang ibu rumah tangga menuturkan, malam itu ia tinggal bersama dua anaknya yang masih SD dan balita. Suaminya masih berada di luar daerah. Rumahnya sudah dimasuki air laut setinggi mata kaki. Tak berpikir panjang, ia harus keluar rumah untuk mengungsi ke tempat tinggi.
“Pikiran saya malam itu hanya anak-anak. Saya ambil kantong kresek yang saya pikir surat-surat penting, lalu keluar rumah mengungsi,” kata Ningsih saat saya singgah ke rumahnya pascabencana. Ternyata, kata dia, kantong kresek yang dibawa itu bukan dokumen penting. Ningsih pun tersenyum.