Menyaksikan Kekuasaan-Mu di Tanah Rencong
SumatraLink.id (REPUBLIKA NETWORK) -- Bencana tsunami Aceh hampir satu generasi berlalu, tapi kenangan kelam masih menyelimuti warganya. Saya berdiri tertegun menyaksikan secara imajiner ada seorang bapak tua naik tiang dan berdiri lama di pagar Masjid Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Dalam suasana panik, bapak tua tersebut masih dapat menyelamatkan diri naik pagar masjid, dan menyaksikan hantaman gelombang tsunami yang telah menghancurkan dan menyeret rumah, harta benda, kendaraan, tanam tumbuh, kapal, dan pastinya manusia dan hewan.
Tiga bulan pascabencana melanda pada 26 Desember 2004, saya berkesempatan berkunjung ke Tanah Rencong, yang dijuluki “Bumi Serambi Makkah”. Perjalanan jurnalistik dari kantor Jakarta menuju Medan, Sumatra Utara, dilanjutkan perjalanan darat menuju Lhoksemauwe, kota hasil pemekaran Kabupaten Aceh Utara.
Saat itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih ada. Sebagai “orang luar” tetap waspada selama perjalanan darat. Cerita orang sana-sini tentang GAM masih membekas meski telah dilanda tsunami. Namun, tensinya tidak separah sebelum tsunami. Tapi, ngeri-ngeri sedap. Kami mencari tempat makan yang aman saat berada di jalan lintas.
Maklum, anggota atau simpatisan GAM kala itu bukan musuh seperti penjajah yang tampak dari ciri orang dan fisiknya sudah ketahuan. Mereka (GAM) masih saudara sesama kita. Bedanya, mereka kadang membawa senjata, sedangkan kita tidak. “Jangan banyak omong kalau lagi makan di warung makan,” kata seorang rekan wartawan.
Menurut dia, kita tidak tahu orang di sebelah atau yang punya warung ini simpatisan GAM atau bukan. Artinya, tidak dapat membedakan mana GAM atau bukan. Kuncinya, kami tidak banyak menyinggung-nyinggung soal itu, agar aman di perjalanan.
Alhamdulillah kami selamat sampai tujuan di mess PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), Lhokseumawe. Malam tiba perut pun lapar, kami harus mencari makan ke luar mess. Makanan di mess terbatas. Tapi, kami tidak boleh sendirian, harus bersama-sama ke pasar malam. Ya, jaga-jaga, untuk keamanan. Nyawa lebih utama dari segalanya.
Setelah tiga hari di Lhoksemauwe, kami kembali ke Medan, tapi naik pesawat fokker dari Bandara Lhokseumawe menuju Bandara Polonia. Empat rekan wartawan lainnya pulang ke Jakarta, sedangkan saya masih harus tinggal di bandara untuk menunggu jadwal keberangkatan ke Banda Aceh dari Medan.
Nah, kalau di Lhokseumawe, dampak gempa dan tsunami tidak separah di Banda Aceh dan sekitarnya. Kesempatan singgah di Kota Banda Aceh dan kunjungan ke daerah-daerah pesisir menjadikan pengalaman beharga bagi saya dalam meliput bencana alam terbesar di Indonesia.