Purbaya dan Dialektika Baru Politik Ekonomi Indonesia

SUMATRALINK.ID – Oleh Ruben Cornelius Siagian (*
Fenomena menarik sedang terjadi di awal masa pemerintahan baru menuju 2029. Nama Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru menjabat, mendadak mencuri sorotan publik. Dari kebijakan yang mengguncang pasar hingga gaya komunikasinya yang blak-blakan, Purbaya menampilkan wajah teknokrat yang tak biasa: keras pada angka, tapi santai di depan kamera.
Namun yang lebih menarik, kiprah Purbaya kini dipandang sebagai ujian bagi arah politik ekonomi nasional, apakah Indonesia benar-benar memasuki era “Penyeimbang Baru” antara populisme politik dan rasionalitas teknokratis?
Sebab di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto dikenal sebagai figur dengan orientasi populis-sosialis, dengan gagasan besar seperti makan bergizi gratis, subsidi pangan, dan penguatan kedaulatan ekonomi rakyat.
Kombinasi ini melahirkan satu pertanyaan strategis, apakah duet Prabowo–Purbaya adalah bentuk keseimbangan antara ideologi “kiri” dan “kanan” dalam tata ekonomi Indonesia modern?
Purbaya dengan Tekanan Fiskal
Purbaya muncul bukan sebagai birokrat konvensional, tetapi sebagai teknokrat yang berani menantang status quo. Ia menegur bank yang dianggap "malas menyalurkan kredit", menggeser triliunan dana negara dari rekening pasif, dan menuntut efisiensi dari lembaga pemerintah. Dalam istilah ekonomi politik, Purbaya sedang memainkan peran “disciplinarian technocrat” yaitu penjaga disiplin fiskal yang menganggap stabilitas makro sebagai moralitas publik.
Kebijakan efisiensi yang ia dorong kerap berujung kontroversi. Purbaya tahu, fiskal adalah panggung politik yang sebenarnya. Setiap pemangkasan, setiap transfer yang ditunda, selalu berarti gesekan antara pusat dan daerah, antara teknokrat dan politisi.
Hal itu terbukti ketika dalam pekan terakhir, belasan gubernur dari berbagai provinsi yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indoneisa (APPSI) mendatangi kantornya di Jakarta. Aksi yang oleh media disebut “18 Gubernur Geruduk Menkeu” menjadi simbol ketegangan lama, perebutan kontrol atas uang negara antara pusat dan daerah. Para gubernur memprotes rencana pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) dalam APBN 2026, yang mereka nilai akan menjerat fiskal daerah dan menghambat pembangunan.
Purbaya tak gentar. Dengan tenang, ia menegaskan, “daerah harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas belanja publik sebelum menuntut tambahan anggaran.”
Bahkan dengan seloroh khasnya, ia berkata takut “dipukul gubernur” karena kebijakan efisiensi ini, pernyataan ringan tapi sarat makna: negara kini memasuki era baru, di mana disiplin fiskal harus berdiri di atas politik daerah.
Disinilah letak keunikan Purbaya. Ia berani menegaskan garis tegas antara efisiensi dan populisme fiskal, sesuatu yang jarang dilakukan pejabat keuangan di tengah tekanan politik yang besar.