Home > Historia

Penjual Jamu Gendong Tak Lekang Ditelan Zaman

Sekarang lebih enteng karena sudah menggunakan botol plastik .
Penjual jamu gendong masih tampak di pasar dan perumahan Kota Bandar Lampung. (Foto: Mursalin Yasland)
Penjual jamu gendong masih tampak di pasar dan perumahan Kota Bandar Lampung. (Foto: Mursalin Yasland)

SumatraLink.id – Masih ingat lagu ini.

“Tak gendong ke mana-mana

Tak gendong ke mana-mana

Enak dong? Mantep dong?...”

Lagu Mbah Surip berjudul "Tak Gendong" itu, tak sejurus ditujukan pada pekerjaan mbak-mbak penjual jamu gendong. Tapi, menggendong bakul anyaman bambu berisi banyak botol beling (sekarang botol plastik) dengan kain dapat menginspirasi lagu tersebut.

Mungkin sudah sedikit kaum perempuan yang mewarisi pekerjaan penjual jamu gendong. Apalagi zaman serba daring dan serba ekspres (instan), yang hanya rebahan sudah dapat menghasilkan cuan.

Kalau ditanya masih ada penjual jamu gendong? Ya, tetap masih ada. Pekerjaan tersebut terasa tak lekang di makan zaman. Di pasar tradisional, di perumahan, perkantoran, ada saja mbak-mbak atau ibu-ibu yang muda penjual jamu gendong.

“Memang masih ada, tapi sudah tidak banyak seperti dulu lagi,” kata Mbak Minten (47 tahun), penjual jamu gendong di Kelurahan Beringin Jaya, Kemiling, Bandar Lampung, beberapa waktu lalu.

Di tengah masifnya pedagang kuliner zaman sekarang, ia masih menyenangi menjual jamu yang gendong, alasannya karena masih ada pelanggan. Pelanggannya banyak di perumahan ibu rumah tangga, apalagi yang baru melahirkan atau menyusui bayinya.

Kalau lagi menjaja di pasar tradisional, menurut dia, pelanggannya pedagang ibu-ibu dan bapak-bapak. “Kalau yang beli masih ada, karena ini jamu untuk kesehatan,” kata Mbak Minten yang biasa keliling di Pasar Tani Kemiling ketika hari kalangan.

Mbak Minten sudah berjualan jamu gendong sekira tujuh tahun terakhir. Dia keluar rumah sekira pukul 10.000 siang sampai sore menjelang Maghrib. Ia menuturkan saat ini lebih enak berjualan jamu gendong tidak berat lagi karena sudah menggunakan botol plastik.

Segelas jamu dengan aneka kebutuhan kesehatan dijual Rp 5.000. Tetapi, kalau ditambah dengan telur ayam kampung menjadi Rp 10.000 per gelas. “Tidak mahal-mahal, kalau mahal pelanggan tidak mau lagi,” kata Mbak Minten.

Sejarahnya, penjual jamu gendong sudah ada sejak kerajaan Hindu-Budha atau Kerajaan Majapahit. Kalau kita ke Candi Borobudur atau Candi Prambanan, terlihat relief penjual jamu gendong. Paling tidak, dari relief zaman itu masyarakat sudah mengenal jamu gendong.

Kala itu, jamu diperuntukkan kalangan istana kerajaan. Untuk stamina tubuh. Lambat laun, masyarakat juga mengkonsumsi jamu untuk kesehatan. Sedangkan mayoritas penjual jamu gendong perempuan, karena memang kau lelaki saat itu, banyak bekerja di pertanian/perkebunan.

Ini warisan nusantara yang tetap terpelihara. Meski, hari ini atau ke depan, sudah dimodifikasi seiring dengan perubahan zaman. Sudah ada toko jamu, ada jamu tablet, sachet, semua bisa dibeli di toko langsung atau melalui olshop.

Tak lekang di makan zaman, karena memang bahan pembuatan jamu dari tanam tumbuh dan rempah-rempah yang sebagian besar ada di Indonesia. (Mursalin Yasland)

× Image