Bicara Perempuan dan Islam, Apa Pandangan Bung Karno?

SumatraLink.id – Di kala banyak orang (lelaki) yang melecehkan kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dan pekerjaan, justru Proklamator Indonesia Bung Karno berpandangan sebaliknya.
“Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Tetapi, ja -- kemerdekaan jang bagaimana? Kemerdekaan seperti jang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, jang hendak menyamarakatan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay?”
Demikian penggalan tulisan Ir Sukarno (Proklamator Bung Karno) dalam bukunya berjudul Sarinah (Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia), Cetakan III Tahun 1963), yang saya kutip utuh ejaannya. Dari buku tersebut, dapat diyakini Bung Karno sangat perhatian dengan sosok dan peran perempuan di negeri ini.
Saat Bung Karno bertandang ke rumah kawannya seorang guru di Bengkulu. Kawannya sangat mencintai istrinya. Kedua pasangan tersebut sangat ia kenal baik hingga keduanya dianggap Bung Karno sebagai adiknya sendiri. Kawannya seorang suami yang “moderen”, tetapi istrinya seperti orang “kuno” atau “terkungkung”. Hal tersebut pernah disampaikan istrinya kepada Bung Karno.
Kepada kawannya, Bung Karno menganjurkan agar memberikan kelonggaran atau kemerdekaan sedikit kepada istrinya. Ia (kawannya) menjawab, bahwa ia tidak mengizinkan istrinya keluar rumah, justru karena ia amat cinta dan menjunjung tinggi kepadanya. Ia tidak mengizinkan istrinya keluar rumah justru untuk menjaga jangan sampai istrinya itu dihina orang. “Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi kebahagiaannya, saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara,” kata kawannya.
Bung Karno menyatakan, mereka memuliakan istri mereka yang mereka cintai sebagai barang yang berharga, mereka jadikan sebagai mutiara. Tetapi justru, kata dia, sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan istrinya itu di dalam kurungan atau pingitan. “Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, dan untuk memuliakannya,” tulisnya.
Persoalan peran perempuan memang masih menjadi dilematis. Bahkan, bagi Soekarno urusan posisi perempuan masih harus dipecahkan di Tanah Air ini. Posisi perempuan masih terbelakang, tetapi dibalik keterbelakangan justru juga ada yang bermanfaat. Hasil pergerakan feminisme di Eropa, menurut Soekarno, kaum perempuan Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil feminisme atau neofeminisme itu?
Memang peran perempuan semakin pelik. Perempuan mencari nafkah juga terjadi kesenjangan, antara perempuan sebagai ibu dan istri dan juga perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Untuk bertindak sempurna perempuan sebagai ibu dan istri tidak cukup waktu. Untuk itulah, pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternyata tidak mampu menyembuhkan keretakan tersebut.