Home > Historia

Krismon 1998, Turis Jepang Tawar Rumah Warisan di Lampung Rp 1 Miliar

Rumah panggung kayu itu mau dibongkar turis Jepang dan dipasang lagi di negaranya tetap dengan nama Lampung.
Berbagai pernik bersejarah perabotan rumah milik Mohabati di Melinting, Kabupaten Lampung Timur, Lampung. (Foto: Mursalin Yasland)
Berbagai pernik bersejarah perabotan rumah milik Mohabati di Melinting, Kabupaten Lampung Timur, Lampung. (Foto: Mursalin Yasland)

SumatraLink.id -- Tampak luar rumah panggung ini lusuh, tak menarik pandangan mata. Kesannya biasa-biasa saja. Tapi, isinya luar biasa. Silap mata turis Jepang saat bertandang ke rumah kayu itu, langsung menawar ingin membeli seharga satu miliar rupiah dibayar tunai.

Waktu itu zaman krisis moneter (krismon) tahun 1997-1998. Zaman itu, siapa yang tak butuh duit segepok yang sudah siap di depan mata. Kala itu, harga emas naik dua kali lipat mencapai Rp 600 ribu per gram. Tawaran menggiurkan itu ditolak tuan rumah. Sang turis pulang.

Setiba di Jepang, turis tadi menelepon lagi pemilik rumah. “Jadi, nggak?” kata turis itu. Pemilik rumah tetap bertahan, tak melegokan rumahnya. Dalam pikirannya; sayang, warisan, kenang-kenangan bersejarah.

“Duit bisa dicari,” kata Mohabati (71 tahun), pemilik rumah bersama anak kandungnya Fitri saat ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu.

Rumah panggung bersejarah itu berada di Desa Wana, Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Desa ini sudah ditetapkan sebagai Desa Wisata Nasional sejak tahun 1994. Rumah Mohabati salah satu yang banyak dikunjungi wisatawan lokal dan manca negara dan juga periset.

Rumah bahan kayu ori kelas premium zaman baheulak itu mau dibongkar turis Jepang dan dipasang lagi di negaranya: Jepang. Ia ingin jadikan rumah bersejarah tetap nama sejarah Lampung. Wajarlah orang Jepang ngotot minat beli itu rumah. Ternyata perabotan dalam rumah warisan itu, kalau kata orang milenial nilai rupiahnya seperti sultan zaman milenial.

Ada guci utuh dan pecahan buatan Cina, ada Kain Tapis Cungkil umur 300 tahun lebih, yang pakai/punya tapis itu bisa dihitung jari di zamannya. Ada uang kuno RI, Belanda, dan Jepang. Alat musik jadul, jam dinding, lemari, bufet, ranjang, brangkas, dan pernak-pernik lainnya.

Suami Mohabati sudah meninggal. Di rumah itu, ia tinggal bersama anaknya Fitri dan Iskandar (kaka Fitri). Rumah warisan itu memiliki kenangan, apalagi tersimpan benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan budaya khas Melinting.

× Image