Home > Historia

Roehana, Perintis Pers Pembuka Tabir Gelap Perempuan

Dunia keperempuan Tanah Air menggelegar melalui tulisannya di koran Soenting Melajoe.
Sitti Roehana Koeddoes. (Foto: Dok Wikipedia)
Sitti Roehana Koeddoes. (Foto: Dok Wikipedia)

SumatraLink.id -- Sudah banyak dan faham kisah Raden Ajeng Kartini, tokoh pergerakan perempuan di Indonesia. Bahkan sejak TK, setiap 21 April hafal dengan lagunya “Ibu Kita Kartini, Putri Sejati, Putri Indonesia...”

Tak melupakan RA Kartini, juga seharusnya tak melupakan tokoh-tokoh pergerakan perempuan Indonesia lainnya. Sebut saja, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Malahayati, Dewi Sartika, Rasuna Said, dan lainnya. Atau juga Siiti Roehana Koeddoes, nama terakhir sebagian masih “asing” bagi rakyat Indonesia.

Pada 9 Februari, saban tahun diperingati Hari Pers Nasional (HPN), ada baiknya mengkilasbalik seorang perempuan perintis pers Indonesia. Membaca kisah Siiti Roehana Koeddoes sungguh menakjubkan. Roehana tokoh perempuan jadul yang membuka tabir kegelapan perempuan di Tanah Minangkabau lewat dunia pendidikan dan dunia jurnalistik.

Roehana, perempuan kelahiran Kota Gadang, Sumatra Barat, 20 Desember 1884 patut diingat bagi kalangan pers, terutama jurnalis perempuan. Jangan sampai jurnalis perempuan yang sudah bekerja di media pers, tidak mengenal sosok perintis pers Indonesia dari kaum perempuan.

Kalam nama Adinegoro sudah mahfum di kalangan jurnalis. Setiap Hari Pers Nasional atau HPN, 9 Februari lahir Anugerah Adinegoro kepada jurnalis investigasi. Namun, belum ada (mungkin) Anugerah Roehana Koeddoes bagi jurnalis perempuan pada ajang anugerah jurnalistik di Tanah Air lokal maupun nasional.

Padahal, kiprah Roehana lebih dulu bila dibandingkan Adinegoro yang lahir di Talawi, Sawah Lunto, Sumatra Barat, 14 Agustus 1904. Apresiasi Adinegoro lebih mengemuka dibandingkan apresiasi Roehana Koeddoes dalam dunia jurnalistik.

Memang literatur Roehana masih minim. Ia dikenal kakak sulung negarawan Soetan Sjahrir, dan sepupu negarawan Agoes Salim. Roehana aktif dalam pergerakan perempuan terutama pendidikan dan perintis pers di Indonesia.

Baca Juga: Cerita dari Lampu Merah, Kado Hari Pers Nasional

Sejak kecil, usia delapan tahun (1892), Roehana sudah ‘melahap’ koran-koran dalam dan luar negeri pada masa penjajahan Belanda. Ia banyak dikiriman koran dari sejawatnya di luar negeri.

Hati Roehana sangat teriris dan tercabik bila membaca berita penindasan kaum perempuan. Ia bergerak dan berjuang dengan caranya.

× Image