Home > Historia

Kisah Warga Bergantung Hidup di Hutan (Larangan) Gunung Betung

Warga menggarap ladang di hutan Gunung Betung sejak zaman kolonial Belanda hingga tahun 1958.
Salah satu pemukiman penduduk di Kota Bandar Lampung dengan latar belakang Gunung Betung, Lampung. (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)
Salah satu pemukiman penduduk di Kota Bandar Lampung dengan latar belakang Gunung Betung, Lampung. (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)

SumatraLink.id (REPUBLIKA NETWORK) – Puluhan ribu warga terpaksa turun dari Gunung Betung, Lampung. Bangunan rumah, gubuk, mushola, dan sekolah ‘diratakan’ dengan tanah. Kawasan Gunung Betung harus segera dikosongkan, warga tidak boleh lagi berladang untuk mengais rezeki di lahan itu.

Warga terusir dari tempatnya. Mereka mencari lahan penghidupan baru di sekitar Gunung Betung. Anak-anak mereka tidak dapat lagi sekolah. Mata pencarian mereka pupus. Mereka harus mengulang dari nol untuk dapat hidup seperti sekian lama di kawasan gunung.

Kehidupan warga yang bernaung di lahan Gunung Betung tinggal cerita. Tradisi bercocok tanam di wilayah itu tinggal kenangan. Tidak ada lagi kehidupan, padahal mereka sudah bernaung dan menggantung hidup dari hasil ladang dan kebun mereka sejak zaman kolonial Belanda hingga tahun 1958.

Kawasan gunung sudah beralih fungsi. Hutan sudah dikuasai negara, warga tidak bisa lagi menyentuh ladangnya, meskipun masih tersisa tanamannya. Dengan selembar kertas surat ketetapan, Gunung Betung di Lampung sudah menjadi kawasan hutan negara Register 19. Artinya, pupus sudah harapan warga untuk dapat kembali mengolah dan memanen hasil kebunnya.

Alih Fungsi Kawasan

Pemerintah sudah menetapkan alih fungsi kawasan hutan lindung Register 19 Gunung Betung menjadi hutan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman (WAR) sejak tahun 1992.

Konflik warga dan penguasa lahan tak terbendung. Warga terusir dari lahan mata pencariannya yang dirintis sejak zaman kolonial. Hidup mereka terombang ambil tidak jelas di bawah sekitar gunung. Sebagian warga pindah lewat program transmigrasi ke Kabupaten Lampung Utara dan Rawajitu (Kabupaten Tulangbawang).

Baca juga: Menelisik Jejak Islam Masuk Wilayah Lampung

Warga yang bermukim di sekitar hutan larangan (Tahura WAR), tetap ingin menggarap ladang dan kebunnya, karena kebutuhan dapur rumah tangga dan biaya menyekolahkan anak-anaknya. Tekanan dan intimidasi dari petugas dan preman menjadi santapan rutin warga saat mengunjungi kembali lahan kebun dan ladang peninggalannya.

× Image