Si Pending Emas, Berjuang dengan Senjata Pena
Pada Agustus 1961, Herlina kembali ke Soasiu. Kunjungan ini untuk membuktikan dirinya ambil bagian dari tekad yang terpendam selama ini. Selama di Soasiu, ia mengadakan studi lapangan, mengenal masalah, dan membaca kondisi lapangan, untuk menyiapkan langkah-langkah ke depan.
Di saat penduduk Soasiu masih tidur pulas, tidak ada yang semangat untuk bersiap menggempur dan merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Dalam hati Herlina terbetik, untuk apa Bung Karno menggaungkan kampanye menggayang imprealisme-kolonialisme untuk membebaskan Irian Barat, tapi penduduk Soasiu sebagai ibukota Provinsi Perjuangan diam seribu kata dan tenang-tenang saja.
Dalam hatinya, marah dan geram, dengan kondisi rakyat yang miskin, marak pula kasus korupsi di provinsi tersebut. Padahal, dalam perjuangan merebut Irian Barat diperlukan dana yang besar dan tepat sasaran. Adanya kasus korupsi ini melemahkan semangat perjuangan.
Ia melihat pejabat yang berada di Provinsi Perjuangan Irian Barat di Soasiun adalah penjabat kiriman dari Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Ironisnya, mereka para pejabat itu banyaklah di Jakarta daripada di Soasiu. Banyaklah alasan mereka masih “bertahan” di Jakarta, transportasi susah, akses sulit dan kondisi alam lainnya.
Kalau pejabat inti saja tidak ada di kantor, apalagi pegawai bawahannya. Para pegawai banyak bekerja semaunya, masuk kantor atau tidak. Tapi menerima gaji buta. Proyek-proyek pembangunan tidak pernah tersentuh, jalan yang tadinya harus diaspal tidak pernah dijamah. Akhirnya, keterbelakangan rakyat semakin jadi, dan keterpencilan daerahnya semakin dalam.