Tidur di Atas Sungai Musi
SumatraLink.id – Oleh Mursalin Yasland
Judul ini seperti cerita orang sakti, punya karomah. Tapi, bagi wong Palembang, atau yang pernah singgah ke Kota Palembang, hal itu biasa saja. Tapi, itulah kekhasan sebagian warga Palembang, bisa tiduk di pucuk banyu (tidur di atas air) Sungai Musi, bisa berjalan di atas air, bermain di atas air, dan lainnya.
Tiduk di Pucuk Banyu, itu istilah Bahasa Palembang. Maksudnya, warga berumah di atas sungai. Rumah Rakit, namanya. Lantai dasar dari bambu (bolo) menempel pada permukaan air sungai yang arusnya deras. Sungai itu dinamai Sungai Musi, sungai kebanggaan kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel),
Sungai Musi membelah Kota Palembang; Seberang Ilir dan Seberang Ulu. Airnya mengalir dari hulunya (sejarahnya diketahui) dari Bukit Kelam, kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), Curup, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Sungai tersebut menandakan adanya kehidupan manusia: manusia butuh air untuk kehidupannya.
Awalnya air Sungai Musi jernih dan bening, karena dari mata air perbukitan setinggi lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut. Setelah perpaduan sumber air dari berbagai anak-anak sungai lainnya di kiri dan kanan, yang melintasi lebih dari delapan kabupaten di Bengkulu dan Sumatera Selatan, airnya mulai keruh kecoklat-coklatan. Butek, Bahasa Palembang-nya.
Baca juga: Nasi Minyak, Dulu Santapan Keluarga Sultan Palembang
Perpaduan sumber air yang masuk ke Sungai Musi tersebut, mengalir dari hulu hingga ke hilir sejauh 720 km. Aliran sungai akhirnya bermuara di Selat Bangka wilayah Sungsang, Kabupaten Musi Banyuasin. Pertemuan air sungai (tawar) dan air laut (asin) Selat Bangka dapat dilihat bila menyeberang ke Pulau Bangka dengan kapal feri.
Sungai Musi menjadi landmark karena melintasi Jembatan Ampera, di pusat Kota Palembang, ibukota Provinsi Sumsel. Nah, yang mau ke Palembang, belum lengkap kalau belum menginjakkan kakinya di jembatan tua yang dibangun tahun 1960-an dan diresmikan Presiden Sukarno tahun 1965.
Di tengah jembatan terdapat dua menara setinggi 60 meter. Tiang itu mengangkat tengah badan jalan dengan tali besi sling. Tujuannya agar kapal feri (penumpang) atau kapal Mari (kapal layar) dapat melintas.
Baca juga: Nasi Minyak Salah Satu Menu Berbuka Puasa Ramadhan
Sayangnya kedua tiang itu mesinnya tak berfungsi lagi. Sejarah mencatat, saat jembatan diangkat menjadi pusat perhatian warga Palembang kala itu. Dekat jembatan ada Pasar 16 Ilir, Terminal 7 Ulu, pasar berbagai jenis pisang dari dusun di depan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung Sultan Machmud Badaruddin II.