Home > Ulasan

Rupiah Mengubah Wajah Dunia

Dunia tidak mengenal kata taat dan khianat.
Ilustrasi dunia. (Foto: Dok. Republika.id)
Ilustrasi dunia. (Foto: Dok. Republika.id)

SumatraLink.id -- Oleh Mursalin Yasland (Jurnalis)

Masih membekas dalam ingatan di negeri ini harga telur ayam melonjak sampai Rp 30.000 lebih per kg, minyak goreng kemasan sempat hilang di pasaran, terigu langka, dan harga beras mahal dan raib di swalayan. Mulut petinggi hanya bilang karena ini dan itu tanpa dosa, belakangan ada menteri menyebut penyesuaian harga bukan naik.

Komoditas pangan selalu menjadi permainan bisnis para spekulan yang sangat menggetarkan jiwa bangsa. Setelah tinggi harga kebutuhan dasar rumah tangga seperti beras, bawang, cabai, kedelai, dan telur ayam, lagi-lagi kebijakan impor menjadi solusi pamungkas dengan dalih meredam kegaduhan harga komoditas rakyat. Bukankah isi perut bumi nusantara ini amanah konstitusi dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat?

Dunia segalanya, uang bisa mengubah dunia menjadi terbalik. Bahkan, untuk menjadi punggawa dunia, kaum “beruang” menjadi bantal sandaran empuk. Para penghamba rupiah pun rela menjulurkan congornya melantai demi harga (diri) dunia. Sehingga, tak jelas lagi siapa kawan dan siapa lawan, siapa benar siapa salah, dan siapa jujur siapa bohong.

Pascapemilu dan pilpres dan pilkada serentak biasanya dunia semakin terbalik dan jungkirbalik. Jagat negeri dikejutkan dengan petinggi (pejuang) negeri yang bak kilat berubah kiblat. Dengan nalar dunia, secepat petir menyambar segelintir orang (notabene) panutan umat mengubah haluan kapal. Mereka tidak taat lagi, khianat menjadi taruhan. Kepuasan lahir dan batin mereka sempat menggoncangkan nurani akal sehatnya selama ini.

Semua karena dunia yang menipu dan ajang permainan. Dunia tidak mengenal kata taat dan khianat. Jarum kompas pun dipaksa putar dari utara ke selatan apalagi jarum jam. Yang ada hanya kepentingan: ya kepentingan perut. Perut mereka bukan lagi keroncongan, tapi sudah lapar akut. Badut-badut ekonomi dan politik “terbaik” negeri mulai tampil memainkan sekuel dramanya. Parah dan memalukan!!!

Pada pemilu dan pilpres lalu, beragam diskursus soal nasib negeri ini ke depan sudah ditampakkan dalam beragam diskusi di tv, radio, koran, termasuk di berbagai platform media sosial. Terkuak panutan umat yang selama ini jadi bumper sudah melenceng dari shaf terdepan. Semudah itu mereka balik badan demi “sesuatu” yang menggiurkan kehidupan.

Mereka dengan vulgar menyuarakan hal negeri dengan sujud mengeluarkan lidahnya di sajadah terbalik. Umat semakin tahu, mana yang sehat dan mana yang tidak. Tapi, mereka berdalih: Ini ijtihad setelah pemilu, pilkada atau pilpres? Fitnah syubhat pun bergentanyangan di dunia maya tanpa sensor.

Uang menjadi sumber solusi kebahagiaan. Dengan uang seakan orang hidup menjadi tenang dan bahagia. Transaksi pasar telah bergeser, uang merambah di podium dan panggung politik dalam merebut kekuasaan. Kesan ada uang urusan selesai, tidak ada uang habis perkara. Harga dunia selalu dinilai dengan rupiah. “Bil fuluus likulli syai’in mulus, maa fii fuluus laisa tembus.”

× Image