Home > Historia

Isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist Menuju 1 Oktober

Dokumen Gilchrist ini beredar dan menjadi bahasan para peserta Konferensi Asia-Afrika II di Aljazair tahun 1965.

Isu DG dan DJ saat itu telah dijernihkan. Tapi, isu DG ini telah menyebar luas di luar negeri. Hal ini diketahui saat Presiden Soekarno menghadiri Konferensi Asia-Afriaka II di Aljazair, tahun 1965. Saat itu, Dr Soebandrio yang ikut kunjungan membagi-bagikan salinan DG kepada para anggota peserta delegasi yang berada di Kairo, Mesir.

Dalam buku yang diterbitkan Sekretariat Negara RI tersebut, menyanyangkan tindakan Dr Soebandrio yang seharusnya meneliti secara cermat dan tidak langsung melaporkan kepada Presiden Soekarno. Dengan langsung melaporkan kepada presiden, tindakan Soebandrio telah menguntungkan garis politik dan strategi PKI.

Kabar isu DJ sudah merebak di Jakarta pada Agustus hingga September 1965. Elson menuliskan, Presiden Soekarno sangat terusik atas ketegasan Yani dalam masalah-masalah seperti “kekuasan kelima” dan “Nasakomisasi”.

Menurut Harold Crouch, penulis Buku Militer dan Politik Indonesia (1986), Presiden Soekarno mulai berpikir untuk mengganti Yani dengan panglima AB yang lebih patuh. “Wajar-wajar saja (Soekarno) sering berbicara akan ‘mengambil tindakan’ menyingkirkan Yani,” tulis RE Elson mengutip Crouch.

Isu DJ memang tidak terbukti kuat seperti banyaknya beredar di Jakarta akan merencanakan kudeta kekuasaan Presiden Soekarno. Ketegangan politik sepanjang tahun 1965 membuat kemungkinan perwira senior AD di lingkaran Ahma Yani menjadi target korban Gerakan 30 September.

Sukendro, staf A Yani yang juga penasehat Markas TNI-AD mengakui hal itu, setelah intensnya mengadakan rapat membahas kondisi kancah politik dan mungkin merencanakan berbagai skenario tindakan.

RE Elson mengutip pernyataan Hughes yang mengatakan, sulit untuk memercayai bahwa jenderal-jenderal tingkat tinggi Indonesia tidak memiliki rencana untuk merebut kekuasaan. Dalam suasana masa itu, jenderal-jenderal tersebut akan menjadi naif jika tidak membuat persiapan.

Dalam situasi perpolitikan yang kacau balau tahun 1965, banyak yang termakan persepsi dibandingkan realitas. Menurut Elson tidak diragukan bahwa terlepas dari ada tidaknya DJ, para pemimpin PKI berpikir bahwa DJ memang ada, sebagai mana dalam benak PKI eksistensi DJ langkah sengit melawan kaum komunis.

PKI sendiri mulai membuat rencana seirus untuk mencegah kemungkinkan yang mengerikan. Pada saat itu, anggota AB berpangkat rendah mulai bereaksi dan menunjukkan ketidakpuasan terhadap perilaku senior AD di Jakarta. Anggota AB yang berpangkat rendah tersulut merasa muak melihat gaya hidup senior AD yang berkerja enak di tempat “basah” yang tidak memerhatikan nasib prajurit AB.

Maka, terjadilah benturan politik antaran bawahan dan atasan atau senior AD dan junior AD. Benturan dua kelompok ini dimanfaatkan dalam politik mengusung DJ apa yang disebut Gerakan 30 September.

Upaya ini awalnya telah dijalankan Syam Kamaruzzaman, orang kepercayaan Dipa Nusantara (DN) Aidit, pemimpin PKI tahun 1965. Syam telah menjalin jaringan kontak antara “Biro Khusus” PKI dengan sejumlah kecil perwira yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Isu DJ ini berkembang dibarengi dengan kekhawatiran terhadap niat AD dan juga masalah kesehatan Presiden Soekarno, yang sebelumya pernah jatuh pingsan pada 5 Agustus 1965. Kondisi dua hal ini, yang memantik unsur pimpinan PKI mencari jalan dan cara praktis memadukan kepentingan mereka di berbagai kelompok AB, mulai dari perwira junior yang tidak puas di Jawa Tengah hingga loyalis Presiden Soekarno yang berada di Angkatan Udara.

Upaya PKI ini bertujuan untuk mendahului kepentingan perwira senior AD yang notabene akan melakukan coup d’etat Presiden Soekarno dan juga akan menghancurkan PKI dalam Gerakan 30 September menuju 1 Oktober 1965. (Mursalin Yasland)

× Image