Ambisi Kosong Indonesia di Piala Dunia 2026, Akibat Strategi Gagal dan Kepentingan Politik

SUMATRALINK.ID – Oleh Ruben Cornelius Siagian (*
Ambisi Indonesia untuk tampil di panggung Piala Dunia (PD) 2026 kerap menjadi sorotan publik. Namun, melihat kondisi terkini, pertanyaan kini muncul, apakah sepak bola Indonesia benar-benar siap ataukah semua klaim hanya retorika politis semata? Realitasnya, strategi yang diterapkan saat ini menunjukkan kegagalan sistemik, dan bukannya memperkuat justru menambah keraguan terhadap kelayakan Indonesia tampil di turnamen internasional bergengsi itu.
Strategi naturalisasi pemain asing kerap dijadikan jalan pintas untuk menutupi kelemahan fundamental pembinaan pemain lokal. Timnas Indonesia kini lebih bergantung pada pemain naturalisasi untuk mengisi posisi kunci, sementara pemain muda berbakat lokal seperti Ezra Walian, Witan Sulaeman, atau Ryuji Utomo masih belum mendapatkan jam terbang memadai di kompetisi yang menuntut standar internasional.
Ketergantungan ini menimbulkan risiko jangka panjang, bakat lokal tidak berkembang, mental pemain muda tidak teruji, dan filosofi permainan nasional menjadi tercerai-berai. Naturalisasi seharusnya menjadi pelengkap, bukan fondasi.
Taktik dan Formasi
Timnas Indonesia sering berganti-ganti formasi 4-3-3 atau 4-2-3-1, menyesuaikan lawan, namun tanpa filosofi jangka panjang yang jelas. Transisi permainan yang lambat, koordinasi lini tengah dan depan yang buruk, serta pola serangan yang mudah ditebak menunjukkan bahwa pelatih, meski berpengalaman bekerja dalam kerangka taktik yang reaktif, bukan proaktif. Tanpa perencanaan taktik sejak usia dini, pemain muda tidak belajar sistem permainan yang konsisten, sehingga menghadapi lawan tangguh seperti Jepang atau Korea Selatan tetap menjadi mimpi yang sulit terwujud.
Liga 1 Indonesia masih dipenuhi disparitas kualitas klub dan pemain. Banyak pemain muda berbakat tetap terjebak dalam sistem liga yang tidak menekankan profesionalisme, pelatihan modern, atau kompetisi berstandar internasional. Infrastruktur latihan yang minim, jadwal liga yang kacau, serta kurangnya eksposur ke kompetisi internasional membuat pembinaan pemain nasional terhambat. Strategi Timnas yang mengandalkan pemain “siap pakai” dari klub tertentu hanyalah solusi instan yang gagal mengatasi akar masalah.
Politisasi PSSI dan Kemenpora
Masalah terbesar sejatinya bukan hanya teknis, tetapi politis. Ketua PSSI sekaligus Menteri Olahraga Erick Thohir memegang posisi ganda yang menimbulkan konflik kepentingan. Keputusan strategis timnas tampak lebih dipengaruhi pertimbangan politik dan citra publik, ketimbang kepentingan pengembangan jangka panjang.
Rotasi pelatih yang sering dan perubahan strategi mendadak lebih mirip “aksi pencitraan” untuk media dan sponsor daripada langkah profesional yang membangun fondasi prestasi. Akibatnya, pemain kesulitan membangun chemistry, mental tim mudah goyah, dan pola permainan tetap tidak stabil.