Doa Fudhail bin Iyadh untuk Pemimpin
Sosok dan corak kepemimpinan seseorang itu dapat dilihat dari diri dan pribadinya sendiri. Seorang pemimpin harus dapat membuktikan pada dirinya sendiri seperti apa ia memimpin dirinya. Artinya, ucapan dan perbuatan seharusnya selaras dan tidak berseberangan.
Bukankah pada hal tersebut telah dikisahkan pada Nabi dan Rasul. Seperti Nabi Muhammad SAW, sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, penduduk Makkah kala itu telah mengakui kebaikan akhlak dan kejujuran Muhammad sebelum menjadi nabi dan rasul.
Seperti juga Nabi Shalih, yang telah diakui kaum Tsamud atas kemuliaan akhlak dan sifat Nabi Shalih. “Kaum Tsamud berkata, hai Shalih sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan,” (QS. Hud (11):62).
Begitu juga pada nabi lainnya yang memiliki akhlak mulia, dan perilaku yang positif. “Dan Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas, semuanya termasuk orang-orang yang shalih,” (QS. Al-An’am (6):85).
Artinya, para nabi dan rasul itu seperti dikatakan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsirnya, para nabi termasuk orang-orang yang shalih dalam akhlak, perbuatan, dan ilmu mereka. Bahkan mereka adalah pemimpin dan penghulu orang-orang yang shalih.
Jika ada seorang pemimpin yang akhlak dan perbuatannya tidak selaras, artinya terjadi kegagalan seorang pemimpin memegang amanah. Seperti seorang pemimpin menyerukan berantas korupsi, namun dia sendiri terlibat dalam persekongkolan korupsi. Artinya, ucapan dan tindakan jauh berbeda dari kenyataan.
Soal beratnya pemimpin ini, benar apa yang diungkapkan Fudhail bin Iyadh, ulama besar tabiut tabi’in di dua kota suci Makkah dan Madinah yang wafat di Makkah tahun 187 H. Beliau tadinya seorang penyamun yang telah bertobat. “Andaikan aku punya doa yang mustajab, niscaya akan aku peruntukkan bagi penguasa.”
“Mengapa begitu, wahai Abu Ali?” tanya jamaahnya.
“Jika doa mustajab tersebut kupakai untuk diriku sendiri, aku tidak akan mendapatkan balasan. Namun, jika kupakai untuk mendoakan penguasa maka baiknya penguasa akan berdampak baik bagi rakyat dan negeri,” jawab Fudhail bin Iyadh (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’, 8/91). (Mursalin Yasland)