Kisah Warga Bergantung Hidup di Hutan (Larangan) Gunung Betung
Warga yang diajak bertransmigrasi ke luar kawasan, juga banyak yang kembali ke tanah asalnya, karena lahan transmigrasi tersebut tidak subur. Biasa menggarap lahan subur, tiba-tiba warga disuruh kembali mengelola dari nol dan harus beradaptasi dengan lahan yang tidak subur. Kondisi ini menambah masalah baru bagi warga pendatang.
Meniti Gunung Betung
Bersama beberapa warga, kami meniti jalan menanjak ke puncak kawasan perbukitan hutan Gunung Betung, beberapa waktu lalu. Dari bawah menanjak menggunakan motor yang sudah dimodifikasi meniti jalan setapak yang berliku di sebelah kiri dan kanan terdapat jurang terjal.
Setiba di tanah datar kami berhenti sejenak dan beristirahat sejenak. Ketinggian tanah itu sekira 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) sedangkan pucak Gunung Betung 1.240 mdpl. Di tempat ini, terdapat gubuk warga sebagai tempat melepas lelah warga berladang seharian.
“Di sini tempat pemukiman penduduk. Di tempat ini, ada 300-an KK. Di sana (menunjuk ke arah jauh) dulu (di bawah tahun 1990), sudah ada mushola dan madrasah,” kata Soleh (37 tahun), warga Desa Tahura kepada SumatraLink.id (Republika Network) saat menemani napak tilas Gunung Betung, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, daerah yang dulu terdapat bangunan rumah, gubuk, mushola, dan sekolah sudah tidak membekas lagi. Lahan bekas warga sudah dipenuhi pohon dan tanaman liar. Kenangan Soleh kala itu melihat warga bergiat menggantung hidup di lahan gunung dengan bercocok tanam atau berkebun.
Kami tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju tempat yang lebih tinggi lagi, karena jalan setapak yang hanya bisa dilalui motor hanya pada ketinggian 600 meter dpl. Untuk mencapai puncak harus ditempuh dengan jalan kaki melalui semak belukar.
Baca juga: Masjid Jami Al Anwar Saksi Bisu Gunung Krakatau Meletus
Kami berjalan kaki menempuh ketinggian 800-an m dpl. Di sana kami mendapati mata air, yang dari dulu mampu ‘menghidupi’ masyarakat di sekitar hutan Gunung Betung. Dengan instalasi bambu seadanya dan selang air diameter kecil mengalirkan air gunung sampai pemukiman penduduk hingga sekarang.
Warga Hidup Nyaman
Ketua Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari, Agus Guntoro mengatakan, di bawah tahun 1990, warga hidup nyaman di hutan tersebut. Tapi sejak tahun 1992 kawasan hutan lindung beralih ke kawasan konservasi. “Jelas berdampak pada masyarakat dalam mengelola kawasan tersebut,” kata Agus Guntoro di Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Lampung, beberapa waktu lalu.