Kisah Warga Bergantung Hidup di Hutan (Larangan) Gunung Betung
Ia mengatakan, warga tidak tinggal diam. Mereka harus berladang di kawasan tersebut dengan menonjolkan skema kelola hutan rakyat. Warga tak bisa begitu saja meninggalkan lahan kebun dan ladangnya yang sudah berdiri pohon-pohon tanaman untuk menyambung hidupnya dan menyekolahkan anak-anaknya.
Akses masyarakat di hutan Tahura WAR semakin sempit, setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. Pada Bab I Pasal 1 ayat 7 menyebutkan, kawasan hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan jenis asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Warga setempat terus berjuang mencari legalitas atau pengakuan dari pemerintah, agar bisa nyaman berladang dan berkebun di hutan larangan tersebut. Agus mengatakan, bersama penggiat lembaga sosial dan lingkungan Pussbik dan Wahana Lingkungan (Walhi), mereka terus menjalin komunikasi dengan Dinas Kehutanan Lampung.
“Kami hanya butuh pengakuan legalitas, kami tidak minta raskin (beras miskin), bibit dari pemerintah,” kata Agus bercerita sebelum terbentuknya Sistem Hutan Kemasyarakat (SHK) Lestari pada 14 Februari 2002.
Hutan Larangan
Bagi pemerintah, warga selalu menjadi beban masalah sosial dalam Tahura WAR tersebut, karena menggarap lahan di hutan konservasi. “Kami dituduh perambah hutan, kami diusir dan diintimidasi. Padahal, warga hanya berkebun dan berladang sejak zaman kolonial,” ujarnya.
Kehadiran SHK Lestari tahun 2002 membuat warga semakin nyata berjuang merebut legalitas di lahan negara tersebut. Terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 677 Tahuhn 1997 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), menambah semangat untuk melegitimasi kehidupan warga Hanura di Tahura WAR waktu itu.
Baca juga: Masjid Jami Al Anwar Dibangun Perantau Asal Bugis
Meski pada praktiknya di lapangan HKm tersebut menimbulkan permasalahan baru, ujung-ujungnya warga setempat yang menjadi pelampiasan kekesalan. Padahal, pengelolaan HKm yang tidak tetap sasaran menimbulkan “cukong-cukong” baru yang menggarap lahan negara dengan dalih HKm.