Nasib Perkantoran Mewah Pemprov Lampung di Kota Baru
Landa (60 tahun), praktisi hukum di Bandar Lampung mengatakan, tidak jelasnya perda yang dibuat DPRD dan Pemprov Lampung membuat pelaksanaan kelanjutan proyek Kota Baru semakin sulit terlaksana sesuai harapan.
“Perda tidak punya taji. Penyusunan perda juga bisa jadi memakan anggaran lumayan. Sayangnya kemungkinan tidak ada pasal yang mewajibkan gubernur berikutnya melanjutkan proyek tersebut,” kata Landa, magister hukum Universitas Lampung yang juga advokat, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, rencana proyek Kota Baru tersebut sebagai keinginan pemimpin saja, yang belum tentu sama (persepsinya dengan pihak lain) dan menjadi kebutuhan rakyat banyak. Mengenai lahan Kota Baru, statusnya dan mekanismenya bagaimana, apakah sudah masuk sebagai aset Pemprov Lampung.
Kota Baru seperti kota mati, gedung dan rangka bangunan mangkrak dikelilingi padang ilalang dan tanaman singkong dan jagung milik petani penggarap. Tempat ini juga menjadi ajang singgah anak muda milenial dan generasi Z untuk sekedar hiburan dan juga mengisi konten media sosial.
“Setelah Pak Sjachroedin tidak gubernur, gedung ini ‘sarang’ orang berbuat maksiat. Tempat main anak muda, pecahin kaca kantor. Fasilitas kantor, (bahan) kuningan dan stainless tangga dan lampu-lampu hilang dicuri,” kata Ahmad (32 tahun), petani singkong di sekitar calon kantor gubernur Lampung kepada SumatraLink.id, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, Kota Baru ini seperti kota mati selama lima tahun pada zaman Gubernur Lampung dijabat M Ridho Ficardo. Kondisi bangunan semakin amburadul tak karuan, tidak dijaga, dan bebas orang keluar masuk, padahal ini aset pemerintah yang seharusnya dijaga dan dipelihara.
“Ini kantor dibangun pakai uang rakyat tidak sedikit. Saya heran kenapa dibiarkan. Sayang dan mubazir saja,” kata Ahmad, sarjana teknologi yang beralih profesi menjadi petani singkong dan jagung di area Kota Baru.
Meski sudah ada dua perda menaunginya, nasib kelanjutan pembangunan Kota Baru Lampung peninggalan Sjachroedin ZP ini kembali kandas era M Ridho Ficardo dan Arinal Djunaidi. Dua gubernur ini selama 10 tahun bekerja tak mampu merampungkan megaproyek Kota Baru. Berbagai alasan dan dalih kedua gubernur tersebut “enggan” menjalani perda tersebut.