Rezeki Itu Sudah Tertakar, Tak Akan Pernah Tertukar
Dalam obrolan warung kopi pagi itu, menjelang waktu pensiunnya bapak paruh baya tadi terus memotivasi juniornya yang berstatus tenaga honorer, yang mulai mengeluhkan pendapatan pas-pasan untuk keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.
Keluhan juniornya tersebut, telah ia alami selama 26 tahun sebagai tenaga honorer di berbagai instansi pemerintah di Lampung. Saat ini, anaknya sudah banyak yang selesai kuliah dan bekerja. Tepatlah kiranya, ia memberikan wejangan semangat dan nasehat kepada juniornya untuk tidak patah arang mengarungi kehidupan meskipun hasilnya tidak seberapa. Namun, tetap yakin bahwa rezeki itu ada-ada saja, dan dari jalan yang tidak diduga-duga.
Banyak orang tertipu dalam soal rezeki, padahal rezeki seseorang sudah ditentukan oleh Allah Subhanahuwata’ala (SWT), sebagaimana perkara maut (ajal), jodoh (pasangan hidup), dan musibah (ujian). Semua itu sudah tertakar (tertakdir), dan tidak akan pernah tertukar (baik orang, tempat, dan waktunya).
Baca juga: Awali Setiap Pekerjaan dengan Basmallah
Allah SWT berfirman, “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka Dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizekinya, maka Dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku’.” (QS. Al- Fajr (89): 15-16).
Ath-Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.”
Kemudian ia menambahkan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rezeki, yaitu rezekinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga, ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rezeki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyatakan, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rezeki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rezeki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.”
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al-Mu’minun (23): 55-56).