Jembatan Ampera di Mata Sukarno, Lebihi Tower Bridge dan Golden Gate
SumatraLink.id (REPUBLIKA NETWORK) – Jika di London (Inggris) ada Tower Bridge (Jembatan Menara), namun di Palembang (Sumatra Selatan/Sumsel) ada Jembatan Ampera. Sesekali generasi muda zaman kini bila berpose diri dengan latar Jembatan Ampera dan Sungai Musi menuliskan caption di media sosial “Jembatan London”.
Kedua jembatan ini mirip tapi jauh berbeda. Dua jembatan ini sama-sama memiliki dua menara yang tinggi dan kokoh. Pada bagian tengahnya bisa diangkat dan diturunkan agar kapal bertower tinggi dapat melintas jembatan. Sisi kanan dan kiri jembatan tersedia untuk pejalan kaki dan angkutan tak bermesin.
Jembatan Ampera membentang di atas Sungai Musi induk dari Sungai Batanghari Sembilan sepanjang 1.117 meter dengan lebar 22 meter dan tinggi 63 meter. Rentang kedua menara di tengah sungai 75 meter. Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua: Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Jembatan ini dibangun masa Presiden Sukarno pada April 1962 dan selesai tiga tahun kemudian.
Sukarno atau lebih dikenal Bung Karno tidak jadi meresmikan jembatan terpanjang di Indonesia dengan konstruksi yang arsiteknya dari Jepang. Awalnya, bernama Jembatan Sukarno, namun peristiwa politik G30/S-PKI membuat Sukarno meminta Gubernur Sumatra Selatan (Sumsel) Brigjen Jazid Bastomi meresmikan jembatan yang sudah berganti nama menjadi Jembatan Ampera (Amanate Penderitaan Rakyat) pada 10 November 1965.
Menurut Nike Aryanti dkk dalam tulisannya berjudul Sejarah Jembatan Ampera sebagai Ikon Kota Palembang (2022), ide awal membangun jembatan di atas Sungai Musi sejak zaman Gemeere Palembang tahun 1906, yakni membangun jembatan untuk mempersatukan dua wilayah yang terpisah seberang Ilir dan Seberang Ulu.
Tahun 1924, ide membangun jembatan ini kembali mengemuka untuk direalisasikan saat Wali Kota Palembang masa kolonial dijabat Le Cocq de Ville. Ia berpikir membangun jembatan transportasi darat untuk menyatukan dua wilayah tersebut. Tapi sayang jabatannya berakhir belum terlaksana ia kembali ke Belanda.
Sekian lama, pada 29 Oktober 1956 diadakan rapat untuk membicarakan rancangan pembangunan jembatan di atas Sungai Musi. Setahun berlalu, dibentuk panitia pembangunan jembatan terdiri dari Direktorat Perang Kodim IV/Sriwijaya Harun Sohar dan Gubernur Sumsel HA Bastari dan juga Wali Kota Palembang M Ali Amin dan Indra Caya.
Terdapat tiga lokasi yang diusulkan pembangunan jembatan. Pertama, jembatan dibangun area bendungan 16 Ilir - kawasan Ulu Terminal 7. Kedua, jembatan di kawasan laut Tangga Takat, Plaju menyeberang ke pabrik pupuk PT Pusri. Ketiga, di 4 Ulut Laut yang menyeberang ke Pasar Sekanak tembus ke Jl Temon.
Dari tiga lokasi ini, Presiden Sukarno menetapkan opsi pertama di kawasan 7 atau 10 Ulu - Pasar 16 Ilir yang tembus lurus ke Jl Sudirman. Menurut Sukarno, setiap kendaraan yang masuk atau keluar Sumatra harus melewati jembatan tersebut, melalui jalan Trans-Sumatra Timur.
Sukarno berharap jembatan yang dirancang ahli Jepang itu, digunakan lebih dari 100 tahun. Ia juga minta sisi kanan dan kiri jembatan untuk pejalan kaki. Presiden pertama Indonesia ingin Jembatan Ampera lebih indah dibandingkan Jembatan Menara di London, Inggris, dan lebih panjang dari Jembatan Golden Gate di San Francisco, Amerika Serikat.