Menyaksikan Kekuasaan-Mu di Tanah Rencong
Masjid Raya Baiturrahman menjadi benteng terakhir warga menyelamatkan diri. Masyarakat sekitar berlari menuju masjid kebanggaan orang Aceh. Ada yang tersangkut di pagar, di dinding masjid, dan juga banyak yang sudah masuk ke dalam masjid.
Memang, arus gelombang tsunami saat melintas dan berada di halaman masjid tersebut melandai, dibandingkan dengan di luar pagar masjid. Air laut yang telah terkontaminasi pun tidak sampai masuk ke dalam masjid, hanya bermain-main di halaman masjid. Jadi, sangat aman bila ada orang yang kebetulan berada di masjid.
Tiga bulan dari peristiwa tsunami tersebut, kondisi Kota Banda Aceh sama sekali belum pulih. Hanya akses jalan sebagian sudah terbuka. Reruntuhan gedung, kantor, rumah, mal, dan lainnya masih berserakan. Bahkan kerusakan pasar di sekitar Masjid Baiturrahman tersebut masih asli belum tersentuh pemiliknya yang entah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Aktivitas pasar tradisional berada di jalan raya.
Satu-satunya hotel yang masih tersisa di Banda Aceh tempat saya menginap. Hotel itu juga menjadi penginapan para petinggi Jakarta, relawan dari berbagai filantrofi, termasuk beberapa menteri yang berkunjung.
Beberapa tempat yang menjadi viral videonya yang ditayangkan televisi nasional berulang kali saat gelombang tsunami melanda Aceh, saya sempat kunjungi. Lagi-lagi tertegun menyaksikan secara imajiner kejadian maha dahsyat kala itu.
Termasuk ada sebuah masjid yang masih utuh tak sedikitpun rusak dihantam gelombang tsunami. Padahal, masjid itu sangat dekat dengan bibir pantai. Bangunan rumah sekitar masjid sudah rata dengan tanah. Dari kejauahan masjid berwarna putih tersebut sudah tampak jelas.
Beberapa warga yang selamat sempat saya wawancarai kisahnya, dan beberapa tempat yang dengan kekuasaan Allah SWT terlewatkan dari hantaman gelombang tsunami setinggi tiang listrik.
Sehari saya berada di Banda Aceh, langsung mengetik dan mengirim berita ke redaksi melalui warnet. Belum ada laptop dan android zaman itu. Alhamdulillah masih ada satu-satunya warnet yang sudah beroperasi pascatsunami. Tapi, harus rela antre lama bergiliran menggunakan beberapa komputer sampai larut malam. Lebih pusingnya kalau mengirim foto-foto dengan kapasitas yang berat, selalu gagal. Maklum, jaringan internetnya sangat lemot.
“Memang sudah ada warnet (maksudnya yang buka)? Kan, jaringan belum pulih, telepon saja masih susah,” kata redaktur saya heran.
Selama berada di Banda Aceh, setelah berkeliling-keliling kota, selalu saya sempatkan shalat di Masjid Raya Baiturrahman, terutama pada saat Shalat Jumat. Masjid terbesar dan bersejarah di Aceh tersebut, kala itu menjadi pusat koordinasi dan pertemuan berbagai elemen, mulai dari menteri sampai pejabat terendah, termasuk organisasi kemanusiaan lokal dan mancanegara, dan relawan. Terlihat Kuntoro Mangkusubroto (kepala Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh - Nias) dan Mar'i Muhammad (ketua PMI) tampak sibuk.
Liputan saya di Aceh mulai dari Lhokseumawe sampai ke Banda Aceh dan sekitarnya terdokumentasi dengan foto. Belum ada telepon berkamera apalagi berinternet. Tapi, sayang beribu-ribu kali sayang, setelah tustel poket saya serahkan ke sekred kantor, lupa saya mengambil kartu memorinya atau mengunduhnya. Jadi, tak satupun tersisa foto-fotonya. Semua sudah takdir Allah SWT. Ya, sudahlah (Mursalin Yasland)