Media Pers "Terpasung" Berita Media Sosial
![Baca koran (ilustrasi). (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/250208222548-654.jpeg)
Oleh Mursalin Yasland (Jurnalis)
SumatraLink.id -- Tak dipungkiri, keberadaan media sosial (medsos) di zaman ini sangat merajalela. Nyaris semua orang yang memegang HP dari bangun tidur hingga tidur lagi takkan pernah melewatkan tampilan informasi yang berseliweran di dunia maya. Bagaimana keberadaan media pers di tengah hebohnya berita medsos?
Medsos dengan berbagai flatform digitalnya telah menjadi salah satu kebutuhan bagi seseorang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa setiap hari. Sama halnya ketika zaman dulu orang kerap menongkrongi radio, televisi, atau sekedar membaca koran dan tabloid dengan segelas kopi atau teh di jam-jam tertentu.
Kehadiran medsos yang tanpa ruang dan waktu kala ini, mau tidak mau telah "menggeser" keberadaan media pers baik radio, televisi, koran, majalah, dan terakhir media daring (online). Seiring dengan era disrupsi, keberadaan media konvensional justru beralih kepada media online (siber).
Kalau dulu, untuk mendirikan atau membuat media pers (koran, majalah, tabloid, televisi dan radio) sangat penuh perjuangan. Selain membutuhkan modal yang tidak sedikit juga harus menghimpun sumber daya manusia dan peralatan yang mumpuni.
Setelah terbit koran atau tayang siaran tv atau radio, pengelola juga masih harus berjuang untuk memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas dan memasarkannya dengan persaingan sesama industri pers yang sangat kompetitif untuk meraih kue iklan, agar biaya operasional media pers dapat bergejolak dan kesejahteraan pekerja dan wartawannya terjamin.
Tak kuasa berjuang untuk survive pada era ini, banyak media pers konvensional undur diri alias tutup total. Seperti diketahui, banyak perusahaan pers yang mapan saja harus gulung tikar, karena tak mampu mengendalikan usahanya yang dinilai sudah tidak masuk akal dalam bisnis hitungan media.
Sudah sangat jarang ada orang atau sekelompok orang yang mau menerbitkan media pers konvensioal jenis koran atau majalah pada zaman ini. Rata-rata, orang pers beralih ke media digital terutama pada media online. Dunia siber menjadi pilihan utama untuk menyongsong keberlanjutan media pers era kini dan esok.
Zaman sekarang, semua orang bisa menerbitkan atau menayangkan media online baik yang kontennya berisi berita atau foto/video plus infografik yang bersifat jurnalistik atau pun hanya sekedar informasi bagi pemilik usaha atau komunitas.
Menurut data hasil survey Dewan Pers bekerja sama dengan Universitas Multimedia Nasional, per Februari 2024, terdapat 3.886 media siber di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 36 persen terverifikasi oleh Dewan Pers atau 1.850 media siber. Sedangkan radio 549 media, dan televisi 57 stasiun. Sementara jumlah media cetak sebanyak 527 media.
Dari hasil survey ini, justru tampak jelas keberadaan media online menjadi pilihan utama dibandingkan dengan media pers jenis lain. Jumlah 3.886 media tersebut, justru terbanyak berada di Provinsi Lampung yakni 417 media. Luar biasa, provinsi ujung Pulau Sumatra ini. Kemudian disusul Sumatra Utara (250 media), Jawa Barat (234 media), Riau (228 media), dan Kalimantan Timur (220 media).
Semakin banyak media pers siber, memang kabar menggairahkan dunia jurnalisme di Indonesia. Namun, apakah hanya sebatas kuantitas maka jurnalisme kita disebut maju? Bagaimana dengan kualitas produk atau konten jurnalistiknya? Banyak tidak mencerminkan kualitasnya bagus dan benar, akan tetapi sedikit tapi berkualitas dan istiqomah dijalurnya lebih disukai.
Disadari atau tidak, mau tidak mau untuk berkompetitif, saat ini produk/konten jurnalistik media pers cenderung mengekor pada medsos. Bukankah, cikal bakal medsos ini berasal dari media pers yang zaman dulu menyediakan ruang dan waktu untuk pembaca memberikan informasi kepada publik lewat media. Hal ini yang dinamakan jurnalisme warga (netizen journalism).
Informasi yang tayang di medsos secepat kilat melalui HP seseorang, ternyata mampu membendung keberadaan media pers online, apalagi televisi. Media pers jauh tertinggal dalam urusan yang bersifat kecepatan. Media pers terpasung untuk mengimbangi atau mendahului info yang berseliweran di dunia medsos karena terpagar dengan prinsip jurnalistik yakni verifikasi. Media pers tak hanya mengejar kecepatan berita tetapi juga mengkombinasikan dengan ketepatan berita.
Berita media pers terkurung atau terpasung dengan informasi medsos, tak dapat disangkal lagi. Saking untuk tidak ketinggalan berita, banyak media pers online yang langsung mengutip informasi dari medsos dengan menyebutkan sumbernya. Ini tidak salah juga dan tidak bertentangan dengan kaedah jurnalistik. Asalkan, sumber medsos yang dikutip kredibel, dapat dipertanggungjawabkan, dan tentunya tidak sembarang mengutip untuk menghindari delik hukum.
Saat ini, media pers seakan menjadi “tukang cuci piring” dari informasi yang beredar di medsos apalagi beritanya viral beberapa hari. Media pers terpaksa pontang panting tuganya untuk menindaklanjuti berita tersebut ke sana ke mari dengan prinsip cek dan ricek juga cover both (all) sides yang tidak dapat dijangkau para warganet (netizen). Ketika ini dijalankan media pers, maka produk beritanya mulai lengkap dan berimbang. Tapi, tetap saja info awalnya dari medsos yang viral bukan dari media pers.
Selain itu, menjamurnya media pers online sudah tidak sejalan dan seirama lagi seperti ekosistem zaman koran atau majalah. Jenjang kedudukan seorang koresponden, reporter, redaktur, redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi sudah tak diterapkan lagi. Dampaknya, kualitas pemberitaan atau konten yang diproduksi sangat jauh dari harapan publik.
Berbeda ketika di koran dan majalah berita yang tercetak sudah tersaring hingga beberapa lapis level jabatan. Ini pun masih ada saja kecolongan kesalahan atau kekhilafan, apalagi tanpa ada filter sama sekali. Belum lagi, keberadaan reporter di lapangan yang seharusnya mapan beberapa tahun dengan berbagai pos liputan yang bermutasi berbagai bidang, eh.. tiba-tiba naik ke level redaktur. Padahal, kualitas berita repoter ditentukan redakturnya sebelum tayang atau cetak.
Menurut Ashadi Siregar, direktur LP3Y, modal wartawan ketika masuk dunia jurnalistik adalah keterampilan teknis, disertai sejumlah pengetahuan konseptual. Naluri jurnalistik, kalaupun ada masih sebatas embrio, yang baru akan terbentuk setelah terproses di lapangan melewati kurun waktu tertentu.
Ia mengatakan, naluri jurnalistik bisa semakin tajam berkat bimbingan redaktur yang penuh tanggung jawab keprofesionalitasannya. Ia wajib menunjukkan kepada wartawan (utamanya pemula) apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
“Karena itulah, kerja wartawan selalu bermuara kepada redaktur. Lewat sentuhan tangan (dingin) redakturlah, dalam posisinya sebagai penjaga gawang (gate keeper), ditentukan apakah hasil kerja wartawan layak dijadikan sebagai bagian dari produk informasi (jurnalistik) yang ditawarkan kepada pembaca,” kata Ashadi, yang juga sastrawan, pada awal tahun 1999.
Menurut dia, sistem berjenjang dalam mematangkan seorang wartawan (reporter) layaknya di sebuah angkatan, memang sangat diperlukan. Kemampuan seorang wartawan dalam mengembangkan naluri dan tindakan jurnalistiknya berbanding lurus dengan jam terbang yang dijalaninya mulai dari calon reporter (reporter magang), reporter, redaktur, hingga redaktur pelaksana, dan bahkan pemimpin redaksi.
Untuk itu, tidak banyak (segelintir) lagi media pers yang masih menjalankan prinsip dan kaedah jurnalistik yang mumpuni untuk melakukan reportase investigasi, yang menjadikan informasi atau berita media pers “eksklusif” di hadapan publik yang notabene tidak dapat dijangkau oleh netizen. Ruang investigasi seperti ini yang mulai “menjauh” dari dunia jurnalisme terutama media online (siber) saat ini. Padahal, investigasi “senjata” atau “ruh” sebuah media pers sejak zaman dulu.
Sebagian pengelola media pers siber berpandangan untuk melakukan investigasi banyak hal yang harus disiapkan dan dimatangkan. Dan hal ini berkenaan juga dengan masalah klasik: sumber daya manusia dan finansial, yang melihat kondisi media pers sekarang ini seperti pepatah hidup segan mati juga tak mau.
Tetapi, upaya untuk menuju kerja jurnalistik yang mumpuni, hal itu tetap harus terngiang dan terinspirasi bagi pengelola (pimpinan dan wartawan) sebagai tanggung jawab sosial untuk mencerdaskan bangsa, agar media pers tidak lagi “dipinggirkan” atau “ditinggalkan” pembaca, pemirsa, dan juga pendengarnya.
Selamat Hari Pers Nasional 2025. Tabik....