Buzzer Sosiopat Pencipta Stigma Negatif

SumatraLink.id – Oleh M. Iqbal J. Permana (Ekonom Sumsel)
Buzzer awalnya digunakan dalam marketing "Buzz Marketing" untuk mendorong peningkatan penjualan, karena dari hasil survey marketing "mouth to mouth" lebih efektif untuk tool marketing 1.0 dan 2.0. Tetapi, ketika media marketing berkembang ke periode digital dan citizen berubah menjadi "internet citizen" sekarang dikenal dengan nama "netizen" warga sosial media.
Menjadi buzzer (pendengung) adalah pekerjaan marketing yang juga sama mulianya dengan pekerjaan marketing lainnya, terutama dalam meningkatkan penjualan dan menanamkan merek. Disitulah kemudian penyakit-penyakit psikologis di dunia nyata juga berkembang di dunia internet, makanya muncul kecenderungan Buzzer Sosiopat yang cenderung tidak terkendali karena lemahnya regulasi di platform sosial media.
Munculnya sosiopat sebagai buzzer yang membentuk stigma negatif dipengaruhi beberapa hal:
- Individu dengan sifat manipulatif sering kali memiliki ambisi yang besar untuk mendapatkan kekuasaan, pengaruh, atau keuntungan pribadi, meskipun harus mengorbankan orang lain.
Kurangnya regulasi yang ketat terhadap aktivitas buzzer atau kampanye media sosial memungkinkan praktik manipulasi informasi berkembang tanpa batas, karena biasanya mereka menggunakan akun anonim (palsu) dengan jumlah akun yang banyak dan berbeda, untuk bebas mem-bully, agar bebas dari tuntutan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), sehingga akun seperti ini tumbuh subur.
- Ketegangan antara kelompok-kelompok masyarakat atau ideologi politik sering menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh sosiopat untuk menyebarkan narasi negatif yang memperkuat perpecahan. Karena terjadi transaksi jual beli stigma negatif di pasar buzzer, mulai dari ratusan rupiah sampai miliaran.