Home > Kisah

Khalifah Umar Meriang Ketika Anaknya Disebut Bakal Penggantinya

Sejak lama Umar bin Khotob RA tidak berminat menjadi khalifah, ia ingin hidup sangat sederhana dengan rezeki yang halal.

Dari dialog Abubakar dan Umar Rodhiyallahuanhuma, dua orang sahabat dekat Nabi SAW ini sudah terlihat jelas bahwa Umar bin Khotob RA tidak gila jabatan, tidak meminta jabatan, dan tidak rakus jabatan, meski sahabat seniornya telah mengizinkan dan merestuinya. Inilah fatsoen (adab) politik dari seorang Umar bin Khotob RA.

Namun, setelah Umar menerima amanah jabatan dari Abubakar setelah wafat, ia tetap gelisah. Ia terpaksa menerima pelimpahan khalifah dari Abubakar kepada dirinya, walaupun ia membenci jabatan kekuasaan seperti itu. Tapi, ia terima karena tidak ada pilihan lagi, mengingat situasi dan kondisi zaman sepeninggal Abubakar sangat gawat.

Umar berpikiran bila ia lari dari jabatan yang telah diembannya dari Abubakar dan kaum muslimin, berarti akan lebih banyak lagi mudhoratnya dan ia harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Baca juga: Jangan Sepelekan Kalimat Ta'awudz

“Wahai umat, kalian telah mengangkatku. Andaikan bukan disebabkan aku harus menjadi orang yang lebih baik dari kalian, lebih kuat dari kalian, dan lebih ketat dari kalian dalam masalah kekuasaan ini, maka cukuplah Umar menantikan nasibnya di hari kiamat kelak,” demikian pidato Umar setelah diangkat menjadi khalifah kedua di hadapan kaum muslimin.

Umar resah justru ketika ia akan menghadap Allah SWT, ia disodorkan nama anaknya untuk menggantikannya sebagai khalifah. Umar menyatakan, andaikata orang yang menggantikannya seorang dari keluargaku, orang itu membuat kebaikan, maka keluargaku akan menerima pahalanya. Tapi, apabila ia buruk (dalam kepemimpinannya), gara-gara yang seorang ini (dari keluarga), Umar akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib perkembangan umat Nabi Muhammad SAW.

Baca juga: Ustadz Yazid Jawas Hidup Berpindah dari Rumah Kontrakan ke Kontrakan Lain

“Aku telah berusaha sampai batas maksimal menekan (menolak) keluargaku (untuk menjadi pemimpin). Alangkah bahagianya andakata semua amalanku itu bisa menyelamatkan aku dari siksa api neraka,” ujar Umar yang semenjak masuk Islam hidup dengan sangat sederhana dalam rumah tangganya dengan rezeki yang halal.

Berbeda dengan zaman ini, banyak dari kalangan pemimpin atau penguasa yang bernafsu, memicingkan sebelah mata, bertekad meneruskan warisan jabatan, kekuasaan, dan ketahtaannya kepada anak-mantu, dan istri, bahkan cucu dan keluarga dekatnya.

Tidak terpikirkan lagi seseorang itu mampu atau tidak mampu, sesuai atau tidak sesuai dengan kapabilitas dan kredibilitasnya, yang penting dinasti 'kerajaan' harus tetap dipertahankan dan diperjuangkan dengan segala cara. Allahua’lam bishawab. (Mursalin Yasland)

× Image