Home > Ulasan

Cerita dari Lampu Merah, Kado Hari Pers Nasional

Para pemilik media mau tidak mau harus mengkombinasikan produk jurnalistiknya dan juga menyebur ke dunia medsos.

Masih ingat dengan jurnalisme warga era dulu, atau zaman ini disebut warganet (netizen). Kehadiran jurnalisme warga sebelum marak medsos tak begitu marak, hanya satu dua saja, itu pun sering tidak dilirik dan tidak tertarik oleh pengelola media mainstream. Hegemoni media mainstream pada masa itu terlalu kuat untuk diintervensi publik.

Ketika dunia medsos menjamur, hampir semua pemilik smartphone dapat menjadi reporter (wartawan) ketika berada di lapangan. Justru informasi dari warganet ini ternyata “laku” dijual di berbagai platform medsos. Pengunjung (viewers) ditambah dengan pelanggan (subscribe) akun seseorang tersebut grafiknya langsung menjulang.

Media pers kalah bersaing dengan medsos yang memiliki beragam warganet dalam mengelola dan menyebarkan info/berita di publik. Hegemoni media pers mulai rapuh. Bukankah, saat ini, seorang pejabat, anggota parlemen, pengusaha, artis, seniman, dan profesional lainnya ketika duduk-duduk santai di rumah atau nongkrong di warung kopi, mengeluarkan pernyataan di medsos justru langsung menjadi berita menarik perhatian publik, sebelum diwawancarai wartawan.

Viewers dan viral seakan menjadi kiblat pemain media. Dampak buruknya, muatan konten jurnalistik lambat laut terabaikan, demi mengejar klikers (viewers). Investigasi yang menjadi roh-nya jurnalisme satu demi satu (mulai) ditinggalkan. Info sekilas menjadi medium “pertempuran” antarmedia daring. Para pencari berita (reporter) pun sudah berpikiran skeptis dan kilat yang mengejar kuantitas bukan lagi kualitas, yang pada akhirnya produk jurnalistik tidak setajam silet.

Dalam kondisi era digital ini, media pers hanya dapat “jatah” sebagai “tukang cuci piring” setelah berita tersebut viral di medsos. Artinya, media pers berubah peran menjadi verifikator dan bisa juga katalisator, agar informasi yang beredar di publik tidak liar tapi dapat dipertanggungjawabkan.

Pada fungsi pers tersebut, peranan verifikasi menjadi senjata pers untuk menyampaikan informasi tersebut valid di hadapan publik sesuai dengan kaedah jurnalisme. Pasalnya, warganet tidak dapat menembus fungsi (verifikator) ketika berhadapan dengan elemen masyarakat, pemerintahan, TNI/Polri, atau pihak berkompeten lainnya. Hal ini membuat media pers menang dari medsos, karena pekerjaan pers dilindungi Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Diposisi inilah, media pers berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hantaman medsos ini juga membuat pekerja pers harus kerja ekstra dalam bersiasat menggali informasi agar dalam pertaruhan sesama media pers saat ini dapat eksis meski harus pontang panting dalam persoalan manajemennya. Bukankah sebagian besar kue iklannya sebagai denyut nadi pers, lambat laun sudah diambil medsos.

× Image