Cerita dari Lampu Merah, Kado Hari Pers Nasional
Hegemoni media pers mainstream sudah tergerus dan bahkan ada tereliminasi sebelum dan setelah berjaya. Persoalan harga kertas dan ongkos cetak juga masih menjadi momok pemilik media dan pengelola industri pers. Hijrah ke media online memang lebih instan, tapi penuh perjuangan, karena tidak mudah menyemainya.
Para pemilik media (yang) masih bertahan mau dan tidak mau harus mengkombinasikan produk jurnalistiknya dan menyebur ke dunia medsos. Platform medsos saat ini digandrungi generasi milenial dan genzi, termasuk sebagian generasi kolonial. Ini yang dinamakan konvergensi media. Tak disangkal, pendengung (buzzer) medsos terkadang lebih nyaring dibanding pendengung konvensional.
Banyaknya media pers daring yang berkiblat dengan viewers atau berita viral, justru ketika membaca komentar dari pengalaman warganet di medsos, belakangan orang di luar negeri, khususon di Inggris menyatakan, justru penggemar berita di media pers online mulai menurun.
Warganet lainnya berkomentar, karena banyak berita online tidak tuntas dan lengkap, dibandingkan produk koran dan majalah seperti sebelum senja kalanya yang mengandalkan fungsi investigasi. Ada lagi yang komentar, baca koran atau majalah beda rasa dengan baca berita di gadget. Memang parameter itu masih membutuhkan riset lagi oleh para periset media.
Tapi, tetap optimistis. Semua itu berproses. Sejarah akan berulang meski tempat, waktu, dan formatnya berbeda. Setidaknya, masih terlihat si Budi kecil masih menjajakan korannya di perempatan Lampu Merah. (Mursalin Yasland)