Home > Ulasan

Arinal dan Mirza, Sudut Pandang Wartawan

Kedua sosok ini siap berkontestasi pada Pilgub Lampung pada 27 November 2024.

Saya dan seorang kawan wartawan media Jakarta sempat “disidang” Arinal dan stafnya di aula Kantor Dishut Lampung terkait pemberitaan di media kami keluarnya berita terbitnya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) atau istilah dokumen angkut kayu di Lampung Selatan menuju Padang, Sumatra Barat.

Saat itu, ada larangan kayu hasil hutan menyeberang provinsi. Nah, kenapa terbit SKSHH? Beberapa pejabat di Dishut Kabupaten Lampung Selatan diperiksa penyidik PNS Polda Lampung, termasuk pejabat di Dishut Lampung, tidak termasuk Arinal.

Berita ini sempat ramai di lingkungan Kementrian Kehutanan RI, sampai di telinga menteri yang waktu itu dijabat Malam Sambat (MS) Kaban. Upaya Arinal mengundang kami berdua sangat positif, sekaligus klarifikasi dan verifikasi atas pemberitaan tersebut. Pada saat itu, berjalan normal-normal saja akrab tidak ada bentak-bentak apalagi melecehkan tugas wartawan.

Hal sama ketika Arinal menjabat Asisten II Bidang Ekubang Pemprov Lampung, kondisi pemberitaan tentang pembangunan Lampung biasa-biasa saja, lagi pula jarang wartawan mewawancarainya langsung, karena Gubernur Sjachroedin lebih suka diwawancarai wartawan kapan, dimana, dan apapun kondisinya. Jadi, sumber berita langsung dari gubernurnya, penentu kebijakan tak pusing-pusing wartawan.

Ketika menjabat Sekdaprov Lampung dibawah Gubernur Lampung M Ridho Ficardo, bahkan saat menduduki kursi BE 1, Arinal semakin “garang” sama wartawan. Banyak hal yang bersentuhan dengan kebijakan Pemprov Lampung, Arinal menanggapinya dengan “sinis”. Seakan beberapa pertanyaan wartawan kepadanya ingin “menjatuhkan” atau ingin “menuduhnya”. Sikap su’udzhon kepada wartawan ini selalu ia tempatkan di shaf depan dibandingkan sikap husnudzon.

Pertanyaan-pertanyaan wartawan, banyak ia jawab dengan nada dan komentar “tidak bersahabat”. Bahkan, beberapa pertemuan di kantor gubernur dan di luar, terkadang ia melontarkan langsung “kekerasan verbal” kepada wartawan dan nama medianya di tengah publik, yang belum tentu benar tudingannya. Ia tidak sadar bahwa dia pejabat publik, bukan pemilik perusahaan keluarga. Ujung-ujungnya, biasa, minta maaf. (Data raport merahnya dapat dilihat di situs AJI Bandar Lampung).

Padahal, wartawan bekerja berdasarkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dibaluti Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Profesi ini menjadi pilar keempat di negeri ini, untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan koridor dan atau on the track. Bila ada (segelintir) wartawan atau medianya yang “macam-macam” tidak sesuai dengan UU atau KEJ, publik dan pejabat dapat menempuh sesuai jalurnya, bukan dengan cara-cara premanisme.

Saya tidak tahu kenapa Arinal berubah seperti ini sampai kini? Berbeda dengan gubernur-gubernur Lampung sebelumnya. Konon katanya, ia justru bersahabat dengan (segelintir) “petinggi” wartawan di Lampung. Tapi, buktinya, sikap ini tidak menghilang, malah makin jadi, dan atau memang sengaja dijadi-jadiin? Wallahua’lam bishawab.

× Image