Home > Ulasan

Gubernur Sumsel Nanti, Jangan Lupakan Wisata Berbasis Sejarah

Melalui jalan tol, waktu tempuh dari Pelabuhan Bakauheni (Lampung) menuju Kota Palembang (Sumsel) kisaran 5-6 jam atau dari Kota Bandar Lampung hanya 3-4 jam.

Pergantian kekuasaan dan pemimpin dengan segala kepentingannya, terkadang memang selalu “meruntuhkan” semangat membangun daerah. Hegemoni kekuasaan lokal seperti itu sudah sepatutnya dihilangkan. Mulailah kembali ke “laptop”, untuk membangun daerah kito dewek. Tidakkah kita mampu mewarisi masa kepemimpinan daerah dengan nama baik yang harum kepada anak cucu kita.

Dinas Pariwisata lebih paham soal mengekplorasi destinasi wisata berbasis sejarah. Kalau belum juga paham atau gagal paham, sudah seharusnya berkolaborasi dengan penggiat sejarah, seniman, termasuk komunitas anak muda milenial dan generasi terkini (gen-Z) yang peduli Sumsel.

Saya melihat masih banyak penggiat atau komunitas anak muda yang masih peduli Sumsel untuk maju. Terkadang mereka lebih bergerak secara parsial, karena memang mungkin, menurut saya, mereka belum atau enggan untuk berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Selain faktor sarat kepentingan dan politis, juga faktor finansial menjadi alasan.

Era gadget saat ini sangat mudah memantau aktivitas komunitas tersebut. Tampilan (posting) gambar, video, tulisan ringan dan pendek di media sosial (medsos) FB, IG, TikTok, Youtube, dan blogger, berdampak langsung kepada pengguna android di Indonesia bahkan global. Dibandingkan dengan menggelar agenda rutin tahunan seremonila belaka semacam festival atau apalah ajangnya, yang hanya terkuras energi pada satu momen yang hasilnya boleh dibilang hilang sekejab mata.

Agenda wisata seperti itu perlu dan tak perlu, tapi cobalah buat ajang yang dapat mengedukasi masyarakat dengan berbalut literasi wisata sejarah, agar dunia dapat mengenangnya sepanjang mata, tidak sekejab mata dan menguap tanpa bekas.

Sudah saatnya mengangkat destinasi wisata di Sumsel berbasis sejarah ke dunia maya lewat medsos berbagai platform-nya. Dinas Pariwisata baik provinsi maupun kabupaten/kota harus menangkap hal itu. Sinegitas pemerintah daerah, kalangan dunia usaha, perhotelan, tour dan travel, dan komunitas penggiat wisata dan seni menjadi kunci agar Sumsel cepat maju di sektor pariwisata.

Sudahlah, kita tinggalkan kepemimpinan masa lalu, yang telah banyak “membunuh” bangunan-bangunan bersejarah, cagar alam, cagar budaya, dan entitas lokal lainnya, yang dahulu menjadi kebanggaan wong bingen yang notabene untuk dikenang masa kini. Semua tinggal cerita tanpa berita.

Sebut saja, hilangnya Gedung Olah Raga Sport Hall dengan kolam retensinya tempat anak-anak berenang dan mancing. Taman Ria untuk hiburan warga kota petang hingga malam. Taman Budaya Sriwijaya sarana berkumpul seniman dan aktivis menampilkan kreativitasnya di kawasan Kampus Palembang. Sekarang kawasan itu masih tersisa Kantor TVRI Sumsel dan Stadion Gelora Sriwijaya.

Belakangan, Pasar Cinde yang menjadi landmark Kota Palembang, juga hilang terkubur zaman. Pasar tradisional multikomoditas bersejarah tersebut sesungguhnya masih berdiri kokoh dan kuat. Kokohnya pilar Pasar Cinde harus runtuh juga oleh penguasa. Pasar hilang karena perbuatan manusia bukan faktor alam seperti kebakaran, gempa, atau lainnya, seperti Pasar 16 Ilir di pinggir Sungai Musi yang terbakar.

× Image