Home > Historia

Kisah Warga Bergantung Hidup di Hutan (Larangan) Gunung Betung

Warga menggarap ladang di hutan Gunung Betung sejak zaman kolonial Belanda hingga tahun 1958.

Warga mengambil air nira di hutan Gunung Betung untuk membuat gula aren. (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland) 
Warga mengambil air nira di hutan Gunung Betung untuk membuat gula aren. (Foto: SumatraLink.id/Mursalin Yasland)

Perwakilan warga dibantu LSM menjalin komunikasi dengan pihak struktural dan membuat kesepakatan dengan lembaga pemerintah khususnya dengan Dishut setempat tahun 1990-an, agar warga yang menggarap lahan tersebut bisa diakui negara.

Terjadi Gesekan

Warga tetap berkomitmen seperti sebelum diusir dari kampungnya, menanam tanaman yang disebut tajuk rendah, tajuk sedang, dan tajuk tinggi. Tajuk rendah yakni tanaman seperti kopi dan kakao. Tajuk sedang yakni tanaman seperti pala, melinjo, dan cengkeh. Sedangkan tajuk tinggi, yakni tanaman seperti kemiri, durian, petai atau jengkol.

Pada dasarnya, ia mengatakan, warga dulunya juga memelihara hutan dengan tetap menjaga ekologi dan biologis hutan dengan menerapkan tiga macam tanaman tajuk tersebut. Tanaman tajuk tersebut, menjadi kekuatan warga untuk bertahan bisa mengelola kawasan lahan hutan untuk rakyat tanpa merusaknya.

Penetapan kawasan hutan tersebut menimbulkan gesekan dan tudingan. Dekatnya kawasan hutan dengan ibukota Provinsi Lampung (Bandar Lampung) jelas berimplikasi dengan kondisi dan perubahan penggunaan lahan Tahura WAR.

Konflik sosial dan saling tindas antar pemangku kepentingan terjadi. Isu deforestasi, degradasi, perubahan lahan, pemukiman liar, provokator bercampur aduk. Masyarakat, LSM, dan pemerintah saling tuding dan saling klaim salah dan benar.

Data yang diperoleh SumtraLink.id (Republika Network), pada tahun 2005, menunjukkan bahwa luasan degradasi kawahan hutan Register 19 Gunung Betung telah mencapai 60-70 persen (menurut LSM LK21), atau sekitar 40 persen (menurut Dishut Lampung). Bahkan, kurangnya perhatian dan pengawasan dari pemerintah, saat ini kerusakan Tahura WAR mencapai 80 persen dari luasannya sekitar 22 ribu hektare (ha).

Baca juga: 35 Tahun Tragedi Talangsari, Mungkinkah Proses Yudisial?

Berbekal dengan konsep pelestarian untuk menjaga kawasan hutan Tahura WAR, SHK Lestari mencoba merancang konsep ekowisata yang berbasi komunitas yang tinggal di dalam kawasan. Dusun Muara Tiga, bagian dari Desa Hurun yang sudah berdiri sejak abad ke-17 menjadi awal berkiprahnya SHK Lestari.

“Waktu itu SHK Lestari menghimpun warga kemitraan 300 – 350 KK,” kata Agus Guntoro.

× Image