Si Pending Emas, Berjuang dengan Senjata Pena
Setelah Perang Dunia II berakhir, Irian Barat bergabung dengan Keresidenan Maluku. Ini masuk dalam Keresidenan Pemerintahan Hindia Belanda. Memang Belanda telah menyerahkan kedaulatannya atas wilayah Indonesia pada 27 Desember 1949, tapi tidak semuanya. Irian Barat masih dikuasai Belanda. Belanda mengajak perang untuk mempertahankannya. Belanda telah menyiapkan senjata, kapal perang, dan pesawat tempur pada tahun 1958.
RI menuntut pembebesan Irian Barat dari kolonialisme Belanda. Berbagai perundingan lokal dan internasional berakhir gagal dan sia-sia. Mulai dari perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) hingga Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), tidak berarti. Belanda masih menguasai Irian Barat selama 3,5 abad.
Perjuangan rakyat untuk merebut Irian Barat dan genggaman Belanda kembali ke pangkuan NKRI. Terbentuklah Provinsi Irian Barat dengan ibukotanya Soasiu. Tapi sayang, rakyat Soasiu tidak responsif. Tak hanya itu, kerja dan kinerja aparatur negara dalam pemerintahan provinsi baru tersebut tidak maksimal dalam mencintai tanah airnya sendiri. Dari situ, Herlina bergeming dengan banyaknya keluhan aparatur pemerintahan provinsi tersebut. Banyak pegawai yang bekerja seenaknya, dan hanya menerima gaji buta.
Ia tidak yakin provinsi ini bakal maju bila pegawainya bermental seperti itu. Herlina banyak termenung setelah mendengar keluh kesah pegawai pemerintah seperti itu. Menurut dia, sebagai aparatur negara, dan banyak dari kalangan muda, seharusnya terpanggil untuk membela tanah air. Ia yang seorang perempuan saja terpanggil untuk andil membebaskan Irian Barat.
“Seharusnya aparatur negara ini lebih dulu bersemangat bukan mengeluh dengan kondisi dan keadaan seperti ini. Dalam hatiku, semakin kuat tekad yang tersimpan dalam hatiku untuk menjadi gerilyawati yang terjun ke rimba hutan belantara Irian Barat. Tekad ini sudah lama, dan harus diwujudkan dengan perbuatan,” gumam Herlina.