Si Pending Emas, Berjuang dengan Senjata Pena
Sebenarnya, di Soasiu sudah ada radio pemancar siaran pemerintah daerah. Tapi, keterbatasan gelombang dan kekuatan watt kecil, dan jangkauan siaran terbatas membuat radio ini tidak diminati rakyat. Rakyat justru lebih tertarik dengan siara radio Biak, milik sang Belanda, karena jangkauanya luas dan suaranya jernih. Lagi pula pesawat radio mahal tidak dimiliki banyak orang.
Herlina terus bertekad menghadirkan surat kabar, bagaimana caranya harus terbit. Surat kabar nasional ada, namun tiba di Soasiu setelah terbit enam bulan kemudian, sangat jauh terlambat. Pada awalnya pernah terbit surat kabar Karya di Ternate. Tapi, usianya pendek karena berbagai hal. Diantaranya, transportasi, percetakan, distribusi, termasuk pengelolanya yang kembung kempis nasibnya.
Tak mungkin perjuangan tanpa media berhasil. Herlina mengupayakan menerbitkan kembali surat kabar Karya dengan keterbatasanya ilmu jurnalistiknya. Jelas, menerbitkan surat kabar di daerah terpenting, terbelakang, dan terpencil tidaklah mudah, seperti surat kabar nasional di Jakarta. Apalagi, ingin mengeruk keuntungan dari surat kabar.
Ia bertekad menerbitkan kembali “Mingguan Karya”. Ia temui pemilik koran itu, Hamid Kotombunan, dan mengajukan gagasannya. Tadinya, Hamid terperangah dengan idenya. Tapi, khawatir bangkrut lagi. Tapi, Herlina menegaskan, ini koran perjuangan penuh pengorbanan, dan nyawa taruhannya. Saat itu, Hamid terperangah dan mengakui kebodohannya mengelola surat kabar Karya bisa mati, karena semata-mata ingin berdagang mencari keuntungan.
Koran Mingguan Karya dipersiapkan untuk terbit lagi. Meski pernah ada, tapi persiapan sama seperti awal menerbitkan dari tidak ada menjadi ada. Herlina dan Hamid ke Jakarta, untuk mengurus surat izin, menyiapkan kertas koran, dan percetakan. Di Jakarta, pejabat setempat seperti di Departemen Penerangan tidak banyak yang menyokong perjuangannya menerbitkan koran di Soasiu, malah mempersulit dan merendahkan niatnya.
“Ah.. sudahlah, aku tak akan meyerah. Yang penting aku tahu apa yang kukerjakan. Aku harus mendapatkan kertas, bukan kertas subsidi pemerintah, tapi kertas yang akan kubeli,” ujarnya.
Ia mendatangi Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Pimpinannya, Kolonel Djoehartono mendukung gagasannya tersebut. Ia membantu keuangan, akte notaris, dan kebutuhan surat kabar lainnya. Herlina sedikit lega dengan gagasanya yang mulai terealisasi.
Ia membentuk badan penerbit dengan nama Yayasan Kartika Lina. Kartika diambil dari lambang Angkatan Darat Kartika Eka Paksi, dan Lina nama akhirnya, digabung. Akte pendirian yayasan selesai, ia dan Hamid berangkat ke Surabaya menunggu kapal ke Ambon. Pada 28 Oktober 1961, mereka meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya naik kapal Waicolo.